Powered By Blogger

Rabu, 07 Desember 2011

MoU Perlu Ditingkatkan Jadi Border Trade Agreement


*Catatan dari di Perbatasan Indonesia-Filipina (2)

INDONESIA-FILIPINA sudah puluhan tahun menjaling kerja sama dalam mempermudah akses masyarakat kedua negara, utamanya dalam hubungan silaturahmi. 

HAMSAH, MIANGAS-MARORE

NOTA kesepahaman atau Memorandum of Understanding (MoU) antara pemerintah Indonesia dengan Filipina, yang dikenal dengan Border Crossing Agreement (BCA) memang sudah banyak memudahkan masyarakat kedua negara, ketiga akan bepergian ke Filipina atau sebaliknya.
Kemudahan itu karena warga tidak perlu lagi mengurus paspor untuk mengunjungi Filipina begitu juga sebaliknya. Namun seiring perjalanan waktu serta perdagangan bebas yang sudah diterapkan di Indonesia, kerja sama dalam bentuk BCA ini mulai dianggap warga kedaluarsa atau ketinggalan zaman.
Makanya, mayoritas warga di pulau perbatasan ini berharap kerja sama  BCA ini ditingkatkan menjadi Border Trade Agreement (BTA). Sehingga warga di kedua perbatasan ini bisa menjaling hubungan perdagangan yang lebih luas.
Tidak bisa dipungkiri, warga Indonesia di perbatasan ini sering  menjual barang dagangannya ke Filipina. Namun jumlahnya terbatas atau sekadar dalam bentuk barter. Begitu juga hanya warga yang memiliki hubungan kekeluargaan di Filipina. "Kerja sama dalam bentuk BCA ini memang sudah perlu ditingkatkan ke BTA, sehingga masyarakat kedua perbatasan memiliki hubungan dagang lebih luas," kata Kepala Pos Imigrasi Miangas, Kenangan Lupa.
Harapan yang sama juga disampaikan warga Miangas, F Markus Banderan. Markus menyebut banyak hasil pertanian, laut dan kebutuhan sehari-hari yang perlu dikerjasamakan dengan Filipina. "Kami ingin kerja sama perdagangan Indonesia  dengan Filipina," tegas Markus.  
Menurut mereka, dengan kerja sama dagang kedua negara di wilayah perbatasan ini, kesulitan masyarakat utamanya dalam memperoleh kebutuhan sehari-hari sedikit teratasi. Apalagi akses ke Filipina lebih mudah dibanding ke Bitung atau Manado. Ke Filipina warga hanya berhitung jam sementara ke Bitung butuh waktu hingga empat hari.
Dengan terbukanya kerja sama dagang yang legal ini, warga optimis kebutuhan sehari-hari mereka akan mudah diperoleh baik beras, sandang dan pangan, hingga kebutuhan bahan bakar minyak. Bahkan sangat memungkinkan warga bisa memperoleh kebutuhan sehari-hari dengan mudah dan murah.
Untuk ke Provinsi Davao-Filipina misalnya, warga paling butuh waktu hingga sepuluh jam. "Dari Miangas ke Tibanbang hanya 7 jam. Tinggal 3-5 jam perjalanan darat sudah sampai ke ibu kota Davao," kata FS Buanbituan, seorang guru SDN Miangas.
Di pulau terluar Indonesia yang berada di wilayah pengawasan Kodam VII/Wirabuana ini, kesulitan yang paling dirasakan warga adalah kebutuhan sehari-hari. Selain mahal,  untuk memperolehnya juga butuh pengorbanan waktu cukup lama.  
Bahkan untuk kebutuhan bahan bakar minyak (BBM) baik solar, premium, dan minyak tanah warga mengaku berbulan-bulan bahkan bertahun tidak mendapat pasokan. "Sudah setengah tahun tidak ada pasokan BBM," ujar warga Kawaluso, Tresio Nevi Makadompis.
"Masalah BBM sudah menjadi persoalan bertahun-tahun tanpa penyelesaian. Kami semakin tersiksa sejak ada larangan warga membawa BBM di atas kapal penumpang," tambah warga Miangas, Arwis.
Camat Marore, Timotius Lahabir mengakui kalau masalah terbesar warga selain kebutuhan pokok adalah BBM. Di wilayahnya ini, sebagian besar warga lebih banyak berbelanja ke Filipina dibanding ke Bitung atau ibu kota kabupaten. 
"Warga yang belanja ke  Filipina seperti beli kebutuhan dapur, minuman, rokok, pakaian hingga sepatu. Itu karena terasa lebih murah dibanding harus ke kabupaten atau provinsi," kata Timotius. (**)
              
   

Keutuhan NKRI Harga Mati


MASALAH keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), utamanya di wilayah perbatasan antarnegara masih sering memantik permasalahan. Problem itu tidak sebatas diselesaikan melalui diplomasi, tapi terkadang harus melalui proses hukum internasional.
Wilayah Indonesia utamanya di pulau terluar, sangat berpotensi melahirkan sengketa perbatasan dengan negara tetangga, termasuk pulau-pulau yang berada di bawah pengawasan Kodam VII/Wirabuana seperti Miangas, Marore, Marampit, Kawaluso, Tinakareng, Matutuang, dan pulau lainnya. 
Pulau terluar tersebut kalau tidak cepat diantisipasi, bukan tidak mungkin akan diklaim bahkan dicaplok negara tetangga jika pengawasan perbatasan tidak ketat. Kendati pulau tersebut tidak berpenghuni atau potensinya tidak seberapa, namun nilai dari pulau tersebut tidak terhingga karena menyangkut keutuhan NKRI.
"Sekalipun pulau itu tidak berpenghuni, tetap perlu dijaga karena jangan sampai terjadi pencurian kekayaan alam termasuk kekayaan laut. Jadi bukan sekadar masalah perbatasan, tapi juga menyangkut harga diri bangsa dan negara kita," jelas Panglima Kodam VII/Wirabuana, Mayor Jenderal Muhamman Nizam.
Di wilayah perbatasan dengan kondisi masyarakat terisolir, isu nasionalisme menjadi hal yang sangat sensitif di tengah masyarakat. Sedikit saja menimbulkan kekecewaan di tengah masyarakat, stabilitas di wilayah perbatasan bisa terganggu. 
Dari sudut pandang positif, nasionalisme di masyarakat ini juga terbangun kokoh berkat peran TNA AD yang selama ini melakukan tugas pengamanan di wilayah perbatasan. Tidak heran, pada beberapa sudut, kita bisa menemukan penegasan bahwa keutuhan NKRI adalah harga mati seperti pada prasasti, tugu, dan tempat lainnya. Tulisan seperti ini paling tidak bisa memicu semangat patriotisme terhadap bangsa dan negara. 
Nizam menegaskan bahwa pengamanan wilayah perbatasan adalah segalanya. Prajurit TNI AD sebagai garda terdepan utamanya dari Yonif 712/Wiratama, tidak mengenal kata mundur atau menyerah dalam menjaga keutuhan NKRI.
"TNI tidak akan pernah mengenal mundur dan menyerah demi tegaknya NKRI dan kokohnya persatuan. Karena itu,  kita harus membulatkan tekad dan komitmen untuk betul-betul menjaga wilayah perbatasan kita," kata Nizam.
Tidak bisa dipungkiri, wilayah perbatasan memang memiliki potensi kekayaan alam yang sangat menguntungkan. Namun potensi ini sekaligus bisa menjadi permasalahan baik berkaitan batas negara, pertahanan, hukum, ekonomi, maupun masalah keamanan masyarakat secara umum.
Untuk perbatasan Indonesia-Filipina, Komandan Yonif (Danyon) 712/Wirataman, Letkol Sri Widodo menyebutkan bahwa persoalan menonjol yang ditemukan prajurit penjaga perbatasan selama ini adalah batas wilayah, pencurian ikan, hingga penyelundupan.
Makanya, keberadaan prajurit TNI di wilayah perbatasan Indonesia-Filipina sangat penting, tidak hanya persoalan keamanan masyarakat tapi juga masalah sosial lainnya. Prajurit TNI bahkan menjadi penopan utama dalam memberikan pemahaman kepada seluruh masyarakat di wilayah perbatasan ini.
Meski sejauh ini masyarakat di pulau terluar ini masih setiap pada NKRI, namun rasa kekecewaan masyarakat bisa mengikis nasionalisme warga. Apalagi akses untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari lebih mudah ke negara tetangga dibanding negara sendiri. Di sinilah perlunya perhatian besar dari pemerintah.
Bagi prajurit TNI sendiri, meski penugasan di wilayah perbatasan merupakan tugas berat, namun prajurit tetap harus memiliki semangat yang tinggi  untuk menjalankan tugas dengan baik. "Tugas pengamanan di perbatasan merupakan kebanggaan tersendiri, sekalipun hidup terasa susah karena jauh dari keluarga," kata Praka Doni D, salah seorang prajurit TNI AD yang berposko di Kepulauan Marore.
Paling tidak, melakukan tugas penjagaan di perbatasan ini memiliki cerita dan pengalaman tersendiri sebagai prajurit TNI, utamanya menyangkut kecintaan terhadap keutuhan NKRI. (hamsah umar)      
                           

Jadi Dambaan dan Kebanggaan Prajurit


DITUNJUK menjadi prajurit penjaga perbatasan di pulau terluar Indonesia yang berbatasan langsung dengan Filipina, di kalangan prajurit TNI memiliki suka dan duka. Namun dibalik semua itu, penugasan di perbatasan sudah menjadi dambaan sekaligus kebanggaan bagi prajurit.
Bahkan banyak prajurit yang mengharapkan bisa bertugas di wilayah perbatasan, utamanya yang masih berstatus bujangan. Bagi prajurit, bertugas di pulau terluar di wilayah Kodam VII/Wirabuana ini suatu hal yang selalu dinantikan. 
Namun, proses penenpatan prajurit di perbatasan ini bukan tanpa pertimbangan dari pimpinan. Pasalnya, sebelum ditempatkan di wilayah tugas, prajurit harus menjalani serangkaian latihan pra tugas sekaligus seleksi untuk menentukan kelayakan seorang prajurit bertugas di perbatasan.
Selain pengalaman bertugas di wilayah perbatasan, ada juga prajurit yang menemukan pujaan hatinya di wilayah tugas. Bahkan, salah satu prajurit yang ditarik dari penugasan ada yang berencana melangsungkan pernikahaan dengan seorang gadis pujaannya di wilayah penugasan. Bahkan prajurit tersebut siap ditugaskan kembali sebagai babinsa di pulau terluar ini.     
Ini juga berlaku bagi 103 prajurit Yonif 712/Wiratama Kodam VII/Wirabuana yang ditugaskan di perbatasan Indonesia -Filipina. Menurut Pangdam VII/Wirabuana, Mayor Jenderal Muhammad Nizam, selama tiga bulan pra tugas, prajurit yang dianggap tidak layak tidak akan ditunjuk untuk bertugas di perbatasan.                
Ada beberapa faktor yang menjadi pertimbangan seorang prajurit  bisa dipercaya mengembang amanah di perbatasan. Salah satunya adalah faktor mental, psikologi, maupun fisik. "Tidak serta merta prajurit ditunjuk bertugas di perbatasan. Tapi semua melalui tahapan yang matang," tegas Nizam.
Kehadiran prajurit TNI di perbatasan ini sendiri disambut baik masyarakat. Apalagi, prajurit TNI ini tidak sekadar berposko melakukan pengamanan, tapi juga turun langsung membantu masyarakat dalam berbagai kehidupan.
Di Kepulauan Marore misalnya, prajurit TNI aktif membantu petani membuat lahan pertanian, begitu juga dengan kegiatan sosial lainnya. Tidak heran, ketiga prajurit TNI ini diganti, banyak warga yang merasa kehilangan bahkan menangis karena mengingat budi baik prajurit TNI selama ini.
"Apa yang dirasakan masyarakat ketika ada pergantian prajurit, menjadi bukti bahwa prajurit TNI sudah mampu berbaur dengan baik dengan masyarakat. Hal seperti ini yang selalu kita harapkan dari setiap prajurit TNI. Bahkan kalau perlu prilaku baik ini lebih ditingkatkan," kata Danrem 131/Santiago, Kolonel AAB Maliogha.
Keberadaan prajurit TNI di wilayah perbatasan tidak boleh lebih baik dari warga asing. Kalau itu terjadi, menjadi ancaman tersendiri bagi nasionalisme masyarakat di perbatasan. (hamsah umar)  
              

Cegah Pencurian Kekayaan Alam


KEHADIRAN prajurit TNI AD di wilayah perbatasan Indonesia-Filipina dinilai sangat penting dan berguna bagi masyarakat yang tinggal di perbatasan. Selain memberikan jaminan keamanan bagi warga, kehadiran prajurit ini juga bisa mencegah pencurian kekayaan alam utamanya laut oleh nelayan asal Filipina.
Jangankan ada prajurit TNI setiap saat melakukan patroli, aksi pencurian dan penyelundupan miras masih menjadi masalah yang sering terjadi di wilayah itu. "Nelayan Filipina masih sering melanggar dan menangkap ikan di perairan Indonesia," kata salah seorang warga pulau Kawaluso, Tonel.
Kerawanan ini masih tetap berpotensi, apalagi banyak warga Indonesia yang memilih berdomisili di negara Filipina, kendati pilihan pekerjaan yang dilakukan juga tetap sebagai nelayan. Tidak heran, ada beberapa kasus penangkapan nelayan yang ternyata setelah ditelusuri juga masih memiliki hubungan kekeluargaan dengan warga Indonesia.
Selain pencurian kekayaan alam seperti kekayaan laut, keberadaan prajurit TNI juga penting dalam mencegah penyelundupan atau transaksi jual beli antara masyarakat Indonesia dengan Filipina. Salah satu yang paling sering diselundupkan warga Filipina ke Indonesia adalah minuman keras.
"Selain kebutuhan pokok, pangan dan sandang, miras merupakan produk yang sering diselundupkan ke Indonesia. Apalagi kan jaraknya tidak jauh. Hanya menggunakan perahu nelayan sudah bisa dilakukan," kata John Sarandan.
Panglima Kodam VII/Wirabuana, Mayor Jenderal Muhammad Nizam menyadari betul bahwa musuh yang dihadapi prajurit TNI di perbatasan memang bukan musuh bersenjata, tapi lebih kepada masalah pencurian kekayaan alam dan penyelundupan. "Inilah salah satu tugas TNI melakukan pencegahan di perbatasan," kata Nizam.
Hal ini pula yang menjadi alasan begitu pentingnya prajurit TNI ditempatkan di perbatasan untuk melakukan penjagaan. TNI AD adalah filter utama dalam mencegah adanya upaya pihak luar meronrong masyarakat di perbatasan. (hamsah umar)    
                

Polisi Telusuri Keberadaan Jamaluddin


MAKASSAR, FAJAR--Simpan siur mewarnai penyelidikan ambruknya tembok perumahan elit The Mutiara. Penyelidikan sementara menyebutkan proyek pembangunan tembok tersebut disubkontrakkan.
Hasil penyelidikan sementara yang dilakukan tim khusus Polrestabes Makassar dan Polsekta Panakkukang menyebutkan, proyek pembangunan tembok setinggi tujuh meter ini dikerjakan oleh perusahaan ketiga. Pemiliknya disebut-sebut bernama H Jamaluddin. Hanya saja, polisi masih kurang memberikan kepastian nama perusahaan tersebut.
"Keberadaan H Jamaluddin ini yang sementara kita cari tahu, sebagai orang yang sub pembangunan pagar (tembok itu). Pengumpulan data dan keterangan penyidik, proyek itu disubkontrakkan," kata Wakasatreskrim Polrestabes Makassar, Kompol Anwar.
Ditanya soal siapa yang paling bertanggung jawab dalam peristiwa yang mengakibatkan delapan nyawa melayang ini, Anwar belum mau berspekulasi. Apalagi jumlah saksi yang diperiksa sejauh ini baru enam orang. Empat orang dari pihak developer dan dua orang dari warga. Salah satu pihak yang telah diperiksa dari pengembang adalah Manajer Proyek, Arif dan pengawas bangunan Heri.
Yang pasti menurut Anwar, kasus ambruknya tembok The Mutiara ini telah ditingkatkan ke penyidikan. Namun dia membantah kalau polisi sudah menetapkan tersangka dalam kasus ini. "Penyidikan itu bukan berarti sudah ada tersangka , tapi itu adalah upaya penyidikan untuk menemukan pihak yang bisa dijadikan tersangka," jelas Anwar.
Anwar menyebutkan penyidik masih akan melakukan olah TKP untuk memastikan kualitas dari kontruksi bangunan tersebut, untuk memperkuat dugaan sementara yang menyebutkan adanya unsur kelalaian dan human error dalam proyek yang berbuah petaka ini.
Kasat Reskrim Polrestabes Makassar, AKBP Himawan Sugeha terpisah menegaskan bahwa pihaknya terus melakukan penyidikan utamanya mengenai bangunan pemisah ini. "Apakah sudah sesuai standar atau memang menyalahi. Kita juga cari tahu kenapa tembok ini runtuh," jelas Himawan.
Polisi juga akan memperdalam maksud pembangunan tembok setinggi tujuh meter ini, apa sekadar pembatas dengan warga luar atau diperuntukkan untuk menahan beban seperti timbunan. "Unsur kelalaian atau kesegajaan akan kita coba buktikan. Warga dan buruh proyek akan kita mintai keterangan," kata Himawan.
Salah satu informasi penting yang memperkuat adanya kelalaian dalam petaka ini,  dari kepolisian menyebutkan tembok tersebut sebelum rubuh sudah pernah terlihat ada yang retak. Makanya, informasi dari warga ini yang sementara dikembangkan penyidik kepolisian.
Untuk kepentingan penyelidikan kondisi konstruksi, pihak penyidik akan minta bantuan tim ahli konstruksi Unhas melakukan penelitian. Hanya saja, belum ada jadwal resmi dari polisi kapan tim ahli tersebut turun  melakukan penelitian.
Sementara itu, sebanyak 23 jiwa yang terdiri dari 5 kepala keluarga masih bertahan di kantor Lurah Sinrijala, Panakkukang. Para warga ini memilih bertahan di posko bantuan karena tidak ada lagi tempat untuk bernaung. Di posko ini, pemerintah kelurahan juga telah membangun dapur umum.
Lurah Sinrijala, Alex menyatakan bahwa kebutuhan para pengunsi ini terpenuhi dengan baik. Apalagi bantuan dari warga terus berdatangan baik dalam bentuk uang tunai, air minum, beras, selimut, dan kebutuhan lainnya. Termasuk bantuan dari pemerintah.  Alex menyebut, sebagian besar korban memilih tinggal di rumah keluarga, tetangga, bahkan ada yang telah pulang kampung.
Soal perhatian yang diberikan The Mutiara kepada korban utamanya yang mengunsi di kantor lurah, Alex mengaku belum mengetahuinya. Namun dia mengaku kalau perusahaan pengembang tersebut telah menawarkan dapur umum. "Sudah ditawarkan dapur umum," kata Alex.
Soal proses hukum yang dilakukan polisi, Alex mengaku tidak ingin mencampurinya. Dia menyerahkan sepenuhnya kepada petugas kepolisian untuk melakukan pengusutan. "Kami hanya mengurus korban," tambahnya.
Salah seorang keluarga korban, Nurlia mendesak pihak pengembang segera memberikan santunan kepada keluarga korban. Menurutnya, sejauh ini belum ada kepastian bahkan pembicaraan antara keluarga korban dengan The Mutiara. Dalam peristiwa ini, Nurlia kehilangan tiga anggota keluarga sekaligus. 
Soal niat Pemkot Makassar merelokasi warga ke tempat lebih aman, Nurlia mengaku setuju dengan rencana tersebut. "Lebih baik kalau kita dipindahkan. Selama ini kita tinggal di sini karena memang tidak ada tempat lain," kata Nurlia. (hamsah umar)