Powered By Blogger

Selasa, 11 Oktober 2011

BEM MIPA: Tidak Ada Kekerasan


*Korban Sempat Minta Pulang

PENGURUS Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas MIPA Unhas, membantah kecurigaan keluarga salah seorang mahasiswa baru (maba) Unhas, Awaluddin yang menyebut korban tewas karena mengalami kekerasan seniornya.
Selain menegaskan tidak adanya kekerasan dalam kegiatan pengkaderan maba, BEM juga menegaskan bahwa kegiatan tersebut atas persetujuan kampus dalam hal ini melalui fakultas, bukan dari jurusan. Ini disampaikan pengurus BEM MIPA Unhas di redaksi FAJAR, Selasa, 11 Oktober.
"Jadi kami hanya ingin tegaskan bahwa tidak ada kekerasan dalam kegiatan pengkaderan, serta kegiatan ini bukan ilegal karena sudah mendapat persetujuan kampus," ujar pengurus BEM MIPA Unhas, Budiman didampingi Ibnu Kudama serta pengurus BEM MIPA lainnya.
Pengurus BEM MIPA ini bahkan menyebut kematian korban tidak ada hubungannya dengan kegiatan pengkaderan kampus. Pasalnya menurut dia, korban tewas setelah kegiatan berakhir. "Kegiatan ditutup Minggu sementara kejadiannya Senin (korban tewas)," kata Ibnu.
Dia menjelaskan, kegiatan yang dilakukan diluar kelas sifatnya hanya seperti olahraga misalnya kenkring. Dia membantah ada kegiatan jalan merayap dan jongkok hingga 200 meter pada Sabtu, pukul 09.00.
Kendati membantah tidak ada indikasi kekerasan dalam kegiatan pengkaderan ini, salah seorang Maba Fakultas MIPA yang turut mengikuti kegiatan itu, mengungkap bahwa kegiatan pengkaderan tersebut memang diwarnai penghukuman hingga pemukulan. Kegiatan pengkaderan dimulai pukul 05.00 hingga pukul 22.00.
Maba yang minta namanya dirahasiakan ini mengungkap bahwa pada Minggu, Awaluddin nyaris pingsang namun oleh panitia disangka hanya sandiawara, bahkan diketahui sempat ditendang oleh seniornya. Senior yang menendang saat akan pingsan itu diketahui seorang perempuan. "Saya melihat panitia tidak prihatin dengan kecapaian yang dirasakan. Saat korban kondisinya sudah sangat lemas, dia sempat minta izin pulang atau istirahat, tapi tidak diizinkan panitia," ungkap maba tersebut.
Bahkan pada saat itu, tiga teman maba lainnya di Fakultas MIPA yang kesemuanya perempuan sempat dilarikan ke RS Wahidin karena kelelahan dan sakit. Maba yang sempat dibawa ke RS oleh panitia Elce dan Yuspita.  "Ini yang saya herankan kenapa maba yang perempuan dibawa ke rumah sakit, sementara Awaluddin tidak. Padahal kondisinya saat itu sangat lemas," tambahnya. (hamsah umar)
       
       

Sulitnya Mengungkap Pembobolan Instansi


KASUS pembobolan berangkas instansi pemerintahan maupun perusakan fasilitas ATM, sepertinya masih begitu sulit diungkap aparat kepolisian. Padahal, upaya pengungkapan kasus pembobolan instansi ini semestinya mendapat prioritas dan atensi khusus penyidik kepolisian.
Betapa tidak, pembobolan berangkas instansi pemerintahan ini boleh dikatakan pembobolan terhadap uang milik rakyat. Pasalnya, uang yang dibobol pelaku tersebut diperoleh dari masyarakat. Namun rupayanya, atensi kepolisian untuk mengungkap kasus pembobolan seperti ini belum maksimal.
Ini bisa dilihat dengan minimnya pengungkapan yang dilakukan polisi terhadap berbagai kasus pembobolan instansi di daerah ini, utamanya di kota Makassar. Dari sejumlah kasus seperti pembobolan kantor pemerintahan, pembobolan kampus, hingga perusakan ATM milik bank sejauh ini masih minim.
Dilihat dari segi kerugian yang ditimbulkan akibat pembobolan berangkas instansi, maupun perusakan atau pembobolan ATM, dapat dipastikan nilainya sangat besar mulai angka puluhan juta hingga ratusan juta. 
Beberapa kasus pembobolan yang sejauh ini belum ada kejelasan seperti pembobolan berangkas kantor Balai Kesehatan Mata Masyarakat (BKMM) Sulsel sebesar Ro250 juta, pembobolan kampus UNM, pembobolan berangkas Kementerian Agama Sulsel, perusakan ATM BCA di depan kampus UIT, dan sejumlah kasus pembobolan kampus lainnya.
Di tengah sejumlah kasus yang belum terungkap itu, muncul lagi kasus pembobolan dan perusakan ATM yang terjadi di ruang Bendahara Pembantu Rektor III Unhas, dimana jumlah uang yang dibawa kabur maling mencapai Rp70 juta, serta perusakan fasilitas ATM BNI di BTP beberapa hari lalu.
Kasus terakhir ini tentu saja akan menjadi ujian terhadap profesionalisme penyidik kepolisian dalam mengungkap kasus pembobolan instansi di Makassar. Karena boleh jadi, kasus tersebut kembali gagal diungkap. Apalagi berdasar catatan pihak Rektorat Unhas, beberapa kasus pembobolan di gedung rektorat belum ada yang berhasil diungkap.
Salah satu kendala yang dihadapi polisi dalam mengungkap kasus pembobolan berangkas kantor pemerintahan, dan ATM perbankan, karena sulitnya mendapatkan alat bukti serta saksi-saksi. Kendati hingga sekian lama kasus tersebut tidak terungkap pelakunya, namun pihak kepolisian mengaku tidak sampai disitu. Polisi akan terus melakukan penyelidikan guna melakukan pengungkapan.
"Jadi kendalanya memang terletak pada alat bukti dan saksi-saksi di lapangan. Tapi, polisi akan terus berupaya untuk mengungkap setiak aksi kejahatan, sekalipun memang penyidik membutuhkan waktu lama," jelas Wakapolrestabes Makassar, AKBP Endi Sutendi.
Selain itu, pelaku kejahatan utamanya yang melakukan pembobolan instansi pemerintahan semakin rapi dalam menjalankan aksinya. Aksi kejahatan yang semakin modern membuat bukti yang diperlukan sulit diperoleh. "Karena ada kecenderungan pelaku kejahatan seperti ini, berusaha keras menutut diri untuk menghindari petugas. Dalam menjalankan aksinya, dia juga berusaha sebaik mungkin menghilankan jejak," tambah Endi.
Belum lagi, pelaku kejahatan tersebut juga pintar memanfaatkan momen dalam menjalankan aksinya, sehingga dalam beroperasi mereka sulit diketahui oleh masyarakat. Dengan keterbatasan saksi yang bisa dimintai keterangan polisi ini, sehingga proses pengungkapan pembobolan instansi pemerintahan terkesan membutuhkan waktu.
Terhadap kasus pembobolan berangkas PR III Unhas beberapa waktu lalu, penyidik Polsekta Tamalanrea menegaskan akan tetap melakukan penyelidikan secara maksimal untuk mengungkap kasus tersebut. "Proses penyelidikan tetap kita lakukan, dan kita berharap bisa diungkap pelakunya," kata Panit II Polsekta Tamalanrea, Iptu Surono H Wata. (hamsah umar)          

Maksimalkan Pemanfaatan CCTV


KANTOR atau instansi pemerintahan yang saat ini menjadi salah satu incaran pelaku kejahatan, utamanya membobol berangkasnya sudah sepatutnya turut andil dalam melakukan upaya preventif, sehingga aksi pembobolan berangkas yang berisi uang rakyat bisa diminimalisir.
Salah satu peran yang perlu dilakukan instansi pemerintahan adalah memperketat pengamanan, dengan memanfaatkan sumber daya yang ada. Apalagi, sejauh ini setiap kantor memiliki satpam atau petugas keamanan. Mestinya petugas keamanan tersebut dimaksimalkan sehingga mereka  bisa mencegah pelaku kejahatan beraksi.
Langkah lain yang perlu dilakukan adalah memaksimalkan pemanfaatan CCTV di perkantoran. Paling tidak, dengan memasang CCTV di kantor, petugas kepolisian sedikit bisa terbantu dalam proses penyelidikan. Karena melalui rekaman CCTV itu, jejak pelaku bisa sedikit terdeteksi atau dikenali.
"Instansi yang menyadari menyimpan uang dalam jumlah banyak di kantor, semestinya memasang CCTV pada sudut-sudut ruangan yang dianggap penting. Sehingga ini bisa memonitor gerak-gerik pelaku yang mencurigakan. Kalaupun terjadi pembobolan, dari media pelaku kejahatan bisa  terekam," saran Wakapolrestabes Makassar, AKBP Endi Sutendi.
Menurut Endi, persoalan sepeda ini belum begitu diantisipasi kalangan instansi di daerah ini. Padahal, pemasangan CCTV itu sangat penting dalam menjaga dan memonitor situasi keamanan di kantor. "Keamanan memang bukan persoalan sederhana, tapi mesti kita memikirkan bagaimana melakukan pencegahan," ujar Endi.
Namun langkah paling aman adalah tidak menyimpan uang di kantor dalam jumlah banyak. Mestinya, pemegang kas tidak menyimpan uang di kantor sekalipun dalam berangkas, apalagi jumlahnya mencapai ratusan juta, mengingat kantor pemerintahan menjadi salah satu incaran pelaku kejahatan.
Apalagi, dalam aturan perundang-undangan, instansi pemerintahan memang sejak lama tidak diizinkan menyimpan uang di kas dalam jumlah besar. Kalau pun ada yang disimpan, tidak lebih dari Rp50 juta. Sayangnya, fakta yang masih sering ditemukan, masih banyaknya instansi yang mengabaikan aturan dan tetap menyimpan uang di kantor, hingga akhirnya menjadi sasaran empuk pelaku perampokan.
"Yang terpenting adalah bagaimana kita sama-sama peduli dalam menjaga keamanan di lingkungan kita. Tidak menyimpan uang di kantor dalam jumlah banyak, itu juga salah satu kepedulian kita untuk terhindar dari pembobolan," jelasnya.   (hamsah umar)                                  

Perkuat Penyelidikan Internal


AKSI pembobolan berangkas kantor pemerintahan sudah banyak melahirkan kecurigaan, dan penilaian negatif seputar peristiwa yang terjadi. Apalagi, jika jumlah uang yang dibobol nilainya mencapai ratusan juta rupiah. 
Salah satu kecurigaan yang paling sering mencuak adalah adanya indikasi keterlibatan orang dalam atau internal instansi yang dibobol. Selain, kerusakan yang ditimbulkan minim, kecurigaan lain kenapa masih ada instansi yang menyimpan uang dalam jumlah besar padahal regulasi sangat jelas melarangnya. Tidak heran kalau kemudian, ada yang beranggapan pembobolan tersebut sekadar rekayasa untuk menghilangkan jejak terjadinya penyalahgunaan anggaran di instansi bersangkutan.
Penilaian ini disampaikan Ketua Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar, Abdul Azis. Menurut dia, pembobolan kantor pemerintahan pelakunya tidak jauh dari instansi bersangkutan. Dalam artian, ada pihak dalam yang membantu atau bahkan menjadi pelaku yang sesungguhnya.
Makanya, dia menyarankan aparat kepolisian untuk memperdalam penyelidikan dan pemeriksaan terhadap internal instansi yang dibobol. "Polisi harus mempelajar seperti apa persoalan yang ada di dalam kantor sebenarnya. Ini yang mesti mereka cari tahu. Jangan sampai, ada  memang persoalan di kantor itu sehingga ini diskenariokan," kata Abdul Azis.
Misalnya saja kata dia, bagaimana melihat tanggung jawab pengelola keuangan di instansi yang dibobol, arus pengelolaan keuangan, pertanggungjawaban kemana, dan struktur yang ada. Kalau ini bisa ditelusuri mendalam oleh polisi, saya optimis pembobolan kantor selama ini akan terungkap.
Selain pentingnya melakukan pemeriksaan mendalam secara internal pada instansi yang dibobol, polisi juga mesti memiliki keseriusan dalam melakukan upaya penyelidikan.
Sementara dari instansi pemerintah, Abdul Azis berharap pimpinan unit kerja lebih tegas lagi dalam menjalankan aturan di instansi yang dipimpinnya. Mestinya, pemegang kas di kantor yang dibobol tersebut diberi sanksi sebagai bentuk pertanggung jawaban moral atas hilangnya uang  di instansinya.
"Ini kan yang selama ini tidak dilakukan. Sehingga instansi  terus melabrak aturan yang ada. padahal kalau ada yang diberi sanksi, tentu akan membuat pihak lain lebih waspada," kata Azis. (hamsah umar)

Kepala SMPN 30 Jemur Siswanya


MAKASSAR, FAJAR--Ini peringatan bagi siswa yang gemar membolos. Dua siswa SMPN 30 Makassar yakni Henri Sulu (Kelas VIII) dan Michel Owen Misarani (Kelas IX), terpaksa dijemur di halaman sekolah karena memilih bermain game di warnet saat jam pelajaran, Selasa, 11 Oktober.
Kedua siswa yang membolos itu dijemur dengan cara dibuka bajunya, sementara sebuah kertas bertuliskan saya sekolah di warnet digantung di pundaknya. Siswa yang bolos tersebut dijemur oleh Kepala SMPN 30 sendiri, Munir.
Pemberian hukuman kepada kedua siswa  itu bermula saat Munir mengantar anaknya kuliah di Unhas. Secara tidak sengaja dia melihat dua siswa tersebut masuk ke warnet di pagi  hari. Pulang dari Unhas, Munir  mengecek siswa yang dilihatnya masuk ke warnet dimaksud. Di situ dia mendapati dua siswanya sedang asik bermain game.
"Dia sempat berbohong kalau dia adalah siswa SMPN 12, tapi karena di bajunya ada lambang SMPN 30 ditambah buku yang dibawa juga dari SMPN 30, saya kemudian membawanya ke sekolah. Ternyata dia memang siswa saya," kata Munir.
Munir menegaskan, tindakan menjemur siswanya dengan cara dibiarkan berdiri di halaman sekolah itu, agar kedua siswa yang diketahui bertetangga itu, bisa jera dengan kenakalannya. Apalagi selama ini kedua siswa tersebut dikenal cukup bandel bahkan sering mengganggu teman sekolahnya.
"Kita hukum seperti itu agar dia jera, begitu juga siswa lain bisa melihat sehingga tidak melakukan tindakan yang salah. Kalau saat jam pelajaran, mestinya dia ada di sekolah, bukan di warnet bermain game. Kedua orang tua siswa ini sudah kita panggil dan memahami langkah pembinaan kita," kata Munir.
Usai menjalani hukuman tersebut, kedua siswa itu langsung mengikuti pelajar di sekolah bersama teman-temannya. Informasi cepat  berkembang karena korban disebut seorang siswi yang ditelanjangi dan diikat.
Munir berharap, pengelola warnet di BTP lebih profesional dalam menjalankan usahanya, dan tidak membiarkan warga  yang berseragam sekolah bermain internet saat jam pelajaran berlangsung. "Ini juga cukup meresahkan, bahkan pernah ada orang tua mengamuk karena mendapati anaknya bermain game di warnet. Karena itu saya harap pengelola internet tidak membiarkan anak sekolah masuk jam sekolah," imbuh Munir. (hamsah umar)