*Pejabat Mundur Demi Pemilukada
MAKASSAR, FAJAR--Sikap pejabat Wajo yang memilih mundur demi kepentingan politik bisa dianggap positif begitu juga sebaliknya. Keputusan mundur saat sudah terkontaminasi kepentingan politik dianggap sebagai etika politik yang baik.
Sebaliknya, meninggalkan jabatan publik yang memiliki tanggung jawab melayani kepentingan masyarakat, juga dianggap sebagai sikap yang tidak mencerminkan pendidikan politik yang baik. Begitu juga dengan sikap atasan yang terkesan menekan atau mengintervensi bawahan yang diketahui akan menjadi lawan politiknya, adalaj perilaku yang tidak mendidik secara politik.
"Dari satu sisi, kita bisa melihat bahwa tekanan atasan terhadap bawahannya yang diketahui akan menjadi lawan politiknya adalah perilaku yang tidak dewasa dan berpolitik, begitu juga keputusan pejabat publik mundur dari tanggung jawabnya. Semuanya tidak mencerminkan pendidikan politik yang baik," tandas pengamat politik Unhas, Adi Suryadi Culla, Rabu, 2 Mei.
Bagaimana pun juga kata dia, ketika ada atasan yang mau menjadi lawan politik atasannya di pemilukada, potensi melahirkan konflik dengan atasan pasti terbuka. Makanya, dia melihat ambisi kekuasaan pejabat daerah sangat mempengaruhi perilaku yang ditempuh.
"Tapi sebaliknya, ketika dia memang sudah komitmen untuk terlibat di ranah politik atau ingin maju di pemilukada, itu juga pilihan yang baik kalau memilih mundur sekalipun dengan alasan ada tekanan. Pejabat publik itu kan harus steril dari aktivitas politik, jadi dengan mundur saya kira itu menandakan mereka menjunjung tinggi etika politik yang baik," tambah Adi Culla.
Terpisah, pengamat politik Unhas, Hasrullah menyatakan bahwa atasan yang merasa ada bawahannya yang akan menjadi lawan politiknya, sudah tentu akan diupayakan untuk diasingkan. Tekanan pada bawahan karena menjadi lawan politik suatu hal yang sulit dihindarkan. "Itu agar bagaimana lawan politiknya ini dimarginalkan. Ini tidak hanya terjadi di Wajo tapi juga terjadi di daerah lain," kata Hasrullah.
Dari segi dampak, Hasrullah melihat bahwa citra incumbent dalam hal ini bupati akan negatif di mata masyarakat, karena akan dipandang sebagai pejabat yang sewenang-wenang melakukan tekanan terhadap bawahannya.
Biasanya akan terjadi pencitraan bahwa orang yang dizalimi akan mendapat simpati masyarakat, sementara pihak yang dianggap mengzalimi akan berusaha ditinggalkan oleh masyarakat.
"Yang dibutuhkan adalah bagaimana semua pihak matang dalam berpolitik dengan tidak melakukan langkah yang tidak mesti dilakukan. Cobalah membuat perilaku politik yang bagus. Kalau sampai ada tekanan kepada bawahan, kesannya ada ketakutan yang melebihi ambang batas," kata Hasrullah.
Sebelumnya, dua pejabat di Wajo memilih mundur dari jabatannya dan mendeklarasikan diri untuk melawan petahana pada pemilukada mendatang. Keduanya adalah Kepala Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa (BPMPD) Wajo, Andi Safri Modding, dan Asisten I Andi Suriadi Belo. (hamsah umar)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar