*Catatan dari di Perbatasan Indonesia-Filipina (3)
PRAJURIT TNI yang bertugas di perbatasan Indonesia-Filipina boleh berbangga mendapatkan tunjangan khusus setara 100 persen gaji pokok. Namun perlakuan istimewa kepada prajurit ini, masih terkesan diskriminasi.
HAMSAH, MIANGAS-MARORE
KORPS TNI angkatan darat memang sudah menerapkan kebijakan khusus bagi prajurit TNI yang bertugas di pulau terluar Indonesia. Alasan utama tidak lain karena tempat tugas prajurit ini sulit diakses, bahkan tidak memungkinkan bertemu dengan keluarga selama dalam penugasan.
Prajurit TNI yang tergabung dalam satuan tugas pengamanan perbatasan, memang tidak diizinkan untuk meninggalkan tempat tugas atau pun izin apalagi cuti masa tugas. Praktis selama itu pula prajurit TNI tidak bisa bertemu dengan keluarga, istri, dan anak-anak bagi mereka yang sudah berkeluarga.
Paling memprihatinkan lagi prajurit yang bertugas di pulau yang sama sekali tidak terjangkau saluran komunikasi. Di antara enam pulau terluar yang menjadi pos prajurit TNI ini, sebagian besar pulau tidak terjangkau saluran komunikasi. Praktis untuk komunikasi dengan keluarga paling bisa dilakukan melalui fasilitas komunikasi kantor.
Di antara prajurit TNI yang bertugas di pulau terluar ini, selain satgas yang memang ditugaskan khusus selama delapan bulan, ada juga prajurit TNI yang ditugaskan di Koramil. Prajurit TNI yang bertugas di Koramil inilah yang masih belum mendapat perlakuan khusus dari TNI. Gaji maupun tunjangan yang mereka peroleh sama dengan gaji prajurit Koramil yang ada di wilayah lainnya.
Kondisi itu tentu saja menjadi keluhan tersendiri bagi prajurit TNI yang ditempatkan di Koramil. Padahal kalau terjadi apa-apa di lapangan, prajurit ini juga tidak mungkin tinggal diam dan sekadar menjadi penonton.
Anggota Koramil 1301-16 Miangas, Serma Parson Lupa dan David Mangiso yang ditemui membenarkan belum adanya perlakuan khusus bagi prajurit Koramil di pulau terluar. Dia pun berharap, mereka mendapat perlakuan sama dengan prajurit lainnya yang bertugas sebagai satgas pengamanan perbatasan.
"Kami di Koramil tidak mendapat tunjangan khusus seperti anggota prajurit yang tergabung di satgas. Persoalan seperti ini sebenarnya sudah kita suarakan, namun sejauh ini belum ada persetujuan. Kami tidak tahu apa yang menjadi pertimbangannya," kata David.
Prajurit yang tergabung di satgas dengan prajurit yang bertugas di Koramil memang memiliki perbedaan. Bagi prajurit yang bertugas di Koramil, mereka bisa membawa keluarga dan tinggal bersama di wilayah tugas apalagi ada mes yang disiapkan. Namun satgas, tidak diperkenangkan membawa serta keluarga di wilayah tugas.
Panglima Kodam VII/Wirabuana, Mayor Jenderal Muhammad Nizam mengakui kalau keberadaan prajurit yang bertugas di Koramil wilayah perbatasan Indonesia-Filipina, tidak mendapat tunjangan khusus sebagaimana prajurit yang tergabung dalam satgas pengamanan perbatasan. Namun bukan berarti, TNI tidak memberikan perhatian atau memikirkan harapan prajurit ini.
Nizam menyebutkan bahwa harapan prajurit di Koramil di wilayah perbatasan mendapat tunjangan khusus, sudah diperjuangkan ke Mabes TNI. Namun sejauh ini memang belum mendapat persetujuan dari pusat. "Kita akan tetap perjuangkan itu. Bahkan kami juga berharap semua prajurit TNI yang bertugas di perbatasan mendapat tunjangan khusus," kata Nizam.
Selain prajurit TNI yang berkeluh kesah mengenai tunjangan khusus, aparat pemerintah yang mengabdi di pulau terluar Indonesia seperti tenaga kesehatan, tenaga guru, dan aparat pemerintah lainnya juga menyuarakan hal yang sama.
Kepala Puskesmas Marore, Berwin Samalam yang ditemui membeberkan kalau perhatian pemerintah terhadap aparat yang bertugas di perbatasan masih kurang. Padahal ada di antara aparat ini yang berasal dari luar pulau dan sudah bertahun-tahun ditugaskan di wilayah perbatasan.
Tunjangan khusus bagi aparat pemerintah kata Berwin bukan tidak ada sama sekali, namun jumlahnya tidak sebanding dengan beban tugas dan mental yang dihadapi selama bertugas di pulau terpencil. "Kalau dari kabupaten sudah ada Rp1 juta per bulan. Tapi kita berharap ada perhatian dari provinsi dan pusat," kata Berwin.
Selain persoalan kesejahteraan di tengah biaya hidup di pulau cukup tinggi, persoalan lain kata dia terkait fasilitas atau sarana prasarana kantor. Di Puskesmas Marore misalnya, Berwin mengungkap kalau fasilitas puskesmas tidak memadai untuk pelayanan kesehatan maksimal. Apalagi tidak ada sarana air bersih di puskesmas.
"Juga tidak ada perumahan dokter. Padahal dokter yang bertugas di puskesmas semestinya ada, apalagi di pulau terpencil seperti ini. Masa dokter harus tinggal di puskesmas atau menumpang di rumah warga. Ini kan sangat memprihatinkan kami," kata Berwin.
Guru SMPN Marore, SW Mauntung juga kecewa dengan perhatian pemerintah terhadap aparat yang bertugas di perbatasan. Kendati sudah sering disuarakan, namun tidak mendapat tanggapan dari pemerintah. "Mudah-mudahan keberadaan TNI bisa menjadi penyambung lidah kami kepada pemerintah provinsi dan pusat. Karena kalau ke camat saja, sepertinya tidak ada tanggapan berarti," kata Mauntung, dalam pertemuan dengan Pangdam VII/Wirabuana. (**)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar