TANGIS histeris pecah di ruang Instalasi Rawat Darurat (IRD) hingga kamar Jenazah RS Wahidin, sore kemarin. Di RS ini, ada dua bocah dan satu pensiunan terbujur kaku, sementara di ruang sebelahnya dua warga merintih kesakitan akibat luka yang diderita.
Keluarga utamanya orang tua dan istri korban yang meninggal tidak henti-hentinya histeris melihat tubuh anggota keluarganya sudah terbujur kaku. Mereka seakan tidak percaya, anggota keluarganya yang cukup ceria itu secara mendadak pergi untuk selama-lamanya.
Rabain, nenek salah seorang korban Saldi bahkan terus meraung sambil memeluk mayak cucunya yang selama ini menghidupu dirinya serta suaminya. Rasa sedih yang dalam itu cukup wajar, apalagi bocah yang duduk di kelas II SD Kantisang Makassar ini sudah dirawatnya sejak umur delapan bulan. Tidak heran, dia menganggap bocah tersebut sebagai anaknya sendiri.
Bocah yang satu ini memang ditinggal ibunya sejak umur delapan bulan karena meninggal dunia. Sementara ayahnya, Sampe memilih merantau ke Malaysia beberapa saat setelah istrinya meninggal. Di Blok E BTN Hamzi, bocah yang satu ini tinggal di sebuah bangunan setengah gubuk bersama neneknya.
Sejak satu tahun terakhir, Saldi menjadi tulang punggung keluarga apalagi setelah kakeknya Rabanti sakit-sakitan. "Sudah satu tahun lebih saya berak-berak darah, jadi dia tulang punggung kami," kata Rabanti.
Cucu yang dianggapnya anak sendiri itu, pada pagi harinya mengurungkan niatnya ke sekolah dengan alasan tidak ada uang. Saat itu, Rabanti baru saja datang menangkap ikan dan bertemu di jalan. "Dia bilang bagaimana ini tidak ada uang. Sementara saya mau lunasi utang televisi," ujar Rabanti mengutip perkataan cucunya.
Sadar tidak bisa mencari uang, Rabanti pun menuruti keinginan cucunya tersebut untuk tidak sekolah saat itu. Dia membiarkannya mencari uang untuk melunasi kredit televisi yang harus dibayar Rp20 ribu sehari. "Dia memang yang selama ini cari uang untuk bayar uang televisi. Tinggal sepuluh hari sebenarnya sudah lunas," tambah Rabanti.
Sebelum berangkat mencari uang di depan M'Tos, bocah malang itu sempat diingatkan untuk makan terlebih dahulu. "Tapi dia bilang janganma makan Ma, karena pulangja jam 5," kata nenek Saldi, Rabain.
Kedua bocah yang tewas di tangan Fransius Petrus alis Gulo ini akan dimakamkan di kampung halaman orang tuanya. Edi akan dimakamkan di Jeneponto, sementar Saldi akan dimakamkan di Bantaeng. Orang tua Edi berencana langsung membawa anaknya malam ini ke Jeneponto, sementara keluarga Saldi baru akan memberangkatkan mayat cucunya ke Bantaeng pagi ini.
Duka mendalam juga dirasakan orang tua Edi, Amir dan Nia. Di kamar mayat, kedua orang tua itu juga histeris. "Apa salahnya anakku kodong," kata Amir.
Hal sama dirasakan istri, Syamsu Alam, Nursia. Warga yang berdomisili di kompleks BTP ini seakan tidak percaya suaminya meninggal dalam kondisi mengenaskan. Bahkan, dia beberapa kali meminta dokter untuk memeriksanya kendati pihak dokter sudah menyakinkannya kalau korban tersebut sudah meninggal. "Belumpi mati dokter, dia masih panas. Bantuki kodong dokter periksa ki. Dia masih hidup," kata Nursia saat berada di IRD RS Wahidin.
Bahkan, saat suaminya yang saat ini bekerja sebagai petugas keamanan di Pabrik Gula Arasoe berada di kamar mayat, Nursia lagi-lagi merasa tidak percaya suaminya telah tiada. Dia bahkan sesekali membuka mata mayat suaminya kemudian menggoyang-goyang kepala dan tangannya. "Bangun ki papi, bertahanki," katanya penuh duka.
Menurut Nursia, suaminya yang harus berobat jalan tersebut bermaksud membeli obat, untuk mengobati penyakit yang dideritanya selama ini. Sayang, niat untuk sembuh dari penyakit itu berubah menjadi duka. (hamsah umar)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar