PERBEDAAN pendapat dalam persoalan hukum patut dihargai, apalagi kalau sudah menyangkut pembuktian suatu perkara seperti dalam hal perkara korupsi. Begitu juga dalam melihat hasil audit yang dilakukan lembaga yang berbeda, dengan objek yang sama.
Memang tidak bisa dipungkiri perbedaan hasil audit yang dilakukan oleh lembaga resmi negara sekelas, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) akan menimbulkan perdebatan bahkan kecurigaan, dalam menilai profesionalisme auditor dalam menjalankan amanah yang diberikan negara.
Dalam kasus dugaan korupsi pemberian bantuan perangkat penerima siaran TV Education (TVE) untuk SD/MI dan SMP/MTS 2007 di Sulsel, menjadi salah satu objek yang akan menguji perbedaan persepsi auditor BPK, BPKP, dan auditor internal Pustekom. Pasalnya, hasil audit yang dilakukan tiga lembaga ini berbeda.
Lembaga yang pertama kali melakukan audit terhadap proyek tersebut adalah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Lembaga eksternal yang diketahui memiliki kredibilitas cukup baik ini, menyimpulkan auditnya tertanggal 4 September 200 7. Hasil audit lembaga ini menyebutkan bahwa proyek pemberian bantuan tersebut sesuai prosedur alias tidak bermasalah.
Selanjutnya, Pustekom secara internal juga melakukan audit terhadap pelaksanaan pemberian bantuan tersebut. Audit tersebut tidak hanya yang ada di wilayah Sulsel, tapi juga di semua provinsi di Indonesia. Hasil audit yang disimpulkan pada 9 Juni 2008 juga sama dengan hasil audit yang dilakukan oleh BPK yakni proyek berjalan sesuai prosedur.
Terakhir, adalah audit yang dilakukan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Sulsel. Proses audit yang dilakukan oleh BPKP ini atas permintaan penyidik Direktorat Reskrim Khusus Polda Sulsel. Hasilnya, lembaga yang juga diketahui memiliki kredibilitas tinggi dalam hal audit ini menemukan adanya kerugian negara Rp1,6 miliar. Dengan kata lain, proses pelaksaan proyek tersebut berjalan tidak sesuai aturan yang ada.
"Karena ini sudah memasuki ranah hukum, maka perbedaan hasil audit itu harus dihargai. Tingga saya kira menjadi tugas hakim untuk mencermati dan mencari pembuktian secara materil. Karena menurut saya, perbedaan audit atau pendapat dalam masalah hukum itu adalah wajar," kata Direktur Eksekutif Macazzart Intellectual Law (MIL) Sulsel, Supriansa.
Menurut dia, hakim juga memiliki cara tersendiri untuk memastikan pelanggaran hukum terhadap objek yang disidangkan. Makanya, menurutnya, perbedaan audit ini tidak menjadi problem kendati memang menimbulkan persepsi yang berbeda pula.
"Kasus dugaan korupsi ini tentu harus tuntas dan jangan ada intervensi kepada siapa pun. Tinggal bagaimana independensi penegak hukum yang menangani kasus ini harus terjaga dengan baik," tambah Supriansa.
Perbedaan audit baik dari BPK, internal Pustekom, dan BPKP Sulsel ini tentu saja memantik reaksi pengacara tersangka. "Saya memang tidak meragukan profesionalisme auditor BPKP, namun dalam kasus ini saya sedikit meragukan. Karena apa yang dilakukan BPK dan internal pustekom sendiri berbeda. BPK dan BPKP ini sama-sama lembaga audit eksternal yang memiliki kemampuan yang sama, tapi kenapa hasilnya berbeda," kata pengacara tersangka, Fanny Anggraini.
Namun apapun hasil dari tiga lembaga audit itu, kebenarannya masih perlu melalui pengujian di hadapan pengadilan. Apakah audit BPK, internal pustekom, atau BPKP Sulsel yang menjadi referensi hakim dalam menentukan putusan dalam kasus ini? kita tunggu. (hamsah umar)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar