MAKASSAR--Penebangan pohon raksasa di Desa Pa'taneteang, Kecamatan Tompobulu, Bantaeng terus menuai kritikan dari berbagai kalangan termasuk dari aktivis pemerhati lingkungan. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sulsel, bahkan menyebut adanya cukong (mafia) kayu yang terlibat.
Indikasinya kata dia, pohon yang memiliki lingkaran sekitar 16 meter dengan tinggi sekitar 100 meter itu, ditebang untuk tujuan komersil oleh pelaku. "Kayu berusia ratusan tahun ini memang ditebang untuk tujuan komersil. Jadi kasus ini memang perlu diinvestigasi dan diusut tuntas, karena jangan sampai ini adalah perbuatan cukong kayu," jelas Direktut Eksekutif Walhi Sulsel, Zulkarnain Yusuf tadi malam.
Aktivis Walhi bahkan curiga pihak terkait termasuk pemerintah mengetahui rencana penebangan kayu, yang diwacanakan dijadikan sebagai salah satu situs di daerah itu. Pasalnya menurut Walhi, wacana untuk menebang kayu tersebut sudah pernah dilakukan termasuk pada 2010 lalu.
Bahkan menurut fakta yang diperoleh Walhi, masyarakat yang hendak menebang kayu berukuran besar tahun lalu itu, sudah pernah melaporkan kepada pemerintah baik melalui lurah, camat, maupun instansi terkait.
"2010 lalu, kayu itu memang sudah direncanakan ditebang oleh masyarakat setempat, makanya sudah pernah melapor pihak terkait. Jadi saya curiga, pemerintah sekadar saling lempar tanggung jawab," kata aktivis Walhi Sulsel, Taufiq.
Makanya, Wahli mencurigai kasus penebangan pohon ini diketahui oleh pihak terkait. Karena itu, dia mendesak kepada pihak terkait utamanya polisi untuk mengusut tuntas kasus tersebut. Kalau pun kata dia, pelaku tidak bisa dijerat dengan Undang-undang No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, karena undang-undang ini hanya mengatur tentang produk kayu yang masuk zona hutan lindung, polisi kata dia bisa menjerat pelaku dengan tuduhan ilegal logging.
"Ini jelas sudah masuk kategori ilegal logging, karena sekalipun kayu itu misalnya masuk zona hutan rakyat, tapi penebangan kayu juga ada aturan tersendiri," kata Zulkarnain.
Makanya, dia menegaskan bahwa pelaku penebangan kayu maupun pihak lain yang terlibat di dalamnya sangat pantas untuk mendapat hukuman. Paling tidak, tindakan tegas terhadap pelaku ini bisa memberikan efek jera agar masyarakat tidak serta merta melakukan penebangan hutan.
Belum lagi kata dia, pohon yang terbilang sudah langka itu turut menjadi perhatian pemerintah pusat, apalagi pohon ini rencananya akan ikut kontes pohon terbesar se-Indonesia. Bahkan informasi yang diperoleh, pihak kementerian terkait sudah menjadwalkan untuk meninjau pohon tersebut.
Meski Undang-undang Kehutanan tidak bisa menyentuh langsung pelaku penebangan kayu itu, karena zona yang ditempati pohon tersebut bukan di hutan lindung, namun Zulkarnain menegaskan bahwa pihak terkait bisa jeli untuk mengakalinya dengan aturan lain, termasuk kata dia jika pemerintah setempat memiliki perda tentang persoalan pemanfaatan kayu.
Bahkan menurut Walhi, zonasi tentang lokasi pohon tersebut tumbuh masih tumpang tindih di kalangan masyarakat dan pemerintah sendiri. Apalagi menurut dia, pohon tersebut letaknya memang berdampingan dengan kawasan kebun
masyarakat.
Sementara itu, Wakil Ketua Asosiasi Pedagang Hutan Indonesia (APHI), Annar Salahuddin Sampetoding menegaskan bahwa sikap kepolisian yang terkesan menyebutkan bahwa persoalan itu adalah tugas Polisi Kehutanan (Polhut) sudah benar. Menurut dia, polisi baru bisa bertindak kalau polhut sudah tidak bisa lagi menangani kasus itu.
Soal apakah tindakan warga yang menebang pohon itu, Annar meminta agar semua pihak terlebih dahulu teliti dan melihat asas legalitas atau alas hak dari pohon tersebut. Jika pohon tersebut memang berdiri di atas kebun masyarakat, maka warga yang menebang pohon tersebut tidak serta merta harus dipidanakan.
"Karena kalau kondisinya seperti itu, warga tidak melakukan pelanggaran. Karena kalau pohon itu tidak berada di hutan konservasi, tidak ada pelanggaran yang dilakukan masyarakat. Mereka menebang itu karena meresa bahwa itu memang haknya," kata Annar.
Kalau pun selama ini pemerintah ada wacana untuk menjadikan pohon tersebut semacam situs atau dilindungi, pemerintah kata dia mestinya sejak dini melakukan komunikasi dengan pemilik kayu tersebut. Menurut dia, pemerintah juga tidak bisa sewenang-wenang mengambil kayu tersebut kalau memang masyarakat adalah pemilik yang sah. Tapi menurut dia bisa saja dilakukan sepanjang warga tersebut diberi ganti rugi.
"Jadi saya melihat bahwa kesalahan ada pada Dinas Kehutanan. Kenapa kalau memang ada keinginan seperti itu, bukan sejak dini melakukan pembicaraan dengan pemilik kayu. Caranya dengan memberinya ganti rugi. Tapi karena mungkin tidak ada kejelasan, pemilik kayu memilih menebangnya untuk dimanfaatkan," tambah Annar. (hamsah umar)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar