MAKASSAR, FAJAR--Kesepakatan pentingan yang disepakati 21 kepala negara dalam pertemuan puncak anggota APEC di Honolulu, Hawai, Amerika Serikat mengenai subsidi bahan bakar minyak (BBM) yang harus dihentikan langsung mendapat tanggapan pakar ekonomi di Sulsel.
Kalangan ekonomi di daerah ini tidak mempersoalkan ketika subsidi BBM ini dihentikan pemerintah, dengan catatan ada program lain yang betul-betul menyentuh kepentingan rakyat miskin. Apalagi sejauh ini, subsidi BBM dianggap tidak tepat sasaran karena banyak orang kaya yang menikmatinya.
"Yang jadi pertanyaan sebenarnya ketika subsidi BBM disetop, apa jaminan yang diberikan pemerintah kepada masyarakat miskin yang membutuhkan. Ini yang kadang tidak terjawab oleh pemerintah," ujar pakar ekonomi Unhas, Idrus Taba malam tadi.
Makanya, dia berpendapat ketika subsidi BBM ini akan disetop, pemerintah mesti membuat program sosial yang memang menyentuh langsung kepentingan orang yang membutuhkannya. Dimana program sosial tersebut bisa memberikan dampak positif kepada masyarakat dan pembangunan bangsa.
Salah satu program sosial dimaksud seperti mengalihkan subsidi BBM itu untuk jaminan sosial, pendidikan, kesehatan maupun program sosial lainnya. Selama ini, ketika pemerintah melakukan pengurangan subsidi BBM termasuk konversi minyak tanah ke gas, ada kesan pemerintah kurang transparan dalam memberikan penjelasan kepada masyarakat soal arah pengurangan subsidi BBM itu sendiri.
"Malah, saya melihat pengalihan subsidi BBM selama ini seperti pemberian bantuan langsung tunai (BLT) pada warga miskin, seolah dijadikan komoditi politik dimana hanya diberikan pada saat menjelang pertarungan politik. Ini kan menurut saya tidak memberi dampak yang cukup baik," kata Idrus.
Padahal menurut dia, yang diharapkan masyarakat adalah program sosial yang bisa langsung kelihatan dan dirasakan manfaat positifnya. "Jangan lagi sekadar program yang tidak beri dampak positif dan tidak berpihak pada lapisan masyarakat bawah," tambahnya.
Selain itu, kebijakan pemerintah mengenai persoalan BBM utamanya terkait subsidi, seolah-olah disusupi hidden agenda yang dirancang kalangan politisi. Makanya, pemerintah mesti jujur dalam memberi alasan ketika akan mengambil keputusan untuk menyetop subsidi BBM. Jangan lagi pemerintah membuat masyarakat muak dengan persoalan subsidi BBM tanah air.
Soal harga BBM yang bakal naik ketika subsidi disetop, Idrus menyatakan bahwa persoalan itu mungkin saja tidak terlalu dipermasalahkan masyarakat, sepanjang ada jaminan sosial dari pemerintah bahwa ketika subsidi BBM dihentikan, ada program lain yang bisa dinikmati masyarakat dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya.
Terpisah, pakar ekonomi Unhas, Hamid Paddu menegaskan bahwa sejauh ini memang kebijakan subsidi BBM pemerintah tidak terarah karena tidak sepenuhnya dinikmati masyarakat yang berhak. "Sudah lama tidak tepat sasaran, karena yang nikmati orang mampu, sehingga tidak maksimal," kata Hamid.
Kondisi ini membuat subsidi BBM selama ini tidak efisian dan terus menekan APBN yang konon merupakan uang rakyat yang dipungut dari berbagai pajak dan semacamnya. Makanya, ketika subsidi BBM ini disetop, sudah sepatutnya pemerintah mengalihkan subsidi ini ke non BBM.
Misalnya, subsidi terhadap petani dan nelayan yang sangat membutuhkan bantuan pemerintah. Dengan demikian, diharapkan pendapatan petani dan nelayan bisa lebih meningkat untuk mengangkat kesejahteran dan pendapatan masyarakat miskin.
"Misalnya saja subsidi untuk pupuk bagi petani. Ini saya kira akan sangat bermanfaat dan dirasakan petani kalau mereka bisa mendapatkan pupuk dengan harga murah. Kalau subsidi BBM ini dialihkan ke non BBM seperti kepentingan petani, otomatis yang menikmati adalah masyarakat yang memang membutuhkan," kata Hamid. (hamsah umar)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar