*Bincang Politik Akhir Tahun
KEPEMIMPINAN yang kuat dan beribawa menjadi harapan besar elemen bangsa saat ini. Namun, bangsa saat ini menghadapi masalah besar dan rumit yakni rendahnya peradaban bangsa utamanya elit politik kita.
HAMSAH, Graha Pena
RENDAHNYA peradaban bangsa ini menjadi permasalahan besar yang semestinya diselesaikan bangsa, apalagi peradaban ini sangat berkorelasi dengan tingkat kemakmuran masyarakat Indonesia, sehingga ketika masyarakat Indonesia masih banyak yang hidup dalam kemiskinan, maka persoalan peradaban ini masih tetap akan ada di negeri ini.
Gambaran ini menjadi salah satu simpulan atau salah penilaian dalam Bincang Politik Akhir Tahun, Konstalasi Politik Jelang Pilpres 2014 dan Pilgub Sulsel 2013 (Peran serta Posisi Militer dan Sipil) di Studio Mini Harian FAJAR, Jumat, 21 Desember.
Diskusi yang dipandu Redaktur Politik Harian FAJAR, Yusuf Said ini menghadirkan Guru Besar Universitas Pertahanan Indonesia, Prof Dr Salim Said dan Guru Besar Ilmu Sosiologi UIN Alaudin, Prof Dr Hamdan Juhannis. Diskusi akhir tahun ini banyak dihadiri mahasiswa dan mahasiswi di kota Makassar.
Mantan Dubes RI untuk Republik Ceko ini melihat bahwa masalah besar bangsa saat ini adalah peradaban yang rendah. Ini bermasalah karena korelasinya adalah tingkat kesejahteraan masyarakat. "Kalau bangsa miskin, peradabannya akan rendah," kata Prof Salim Said.
Rendahnya peradaban bangsa saat ini juga tercermin dalam perpolitikan bangsa saat ini. Berdasar pengamatan dia Indonesia terfragmentasi masyarakat (fragmented society). Masyarakat tidak percaya segmen yang satu dengan segmen yang lain. Kondisi ini pula kata dia yang menjadi alasan kenapa TNI di negeri ini ikut berpolitik. "Kenapa TNI masuk politik karena masyarakat tidak percaya satu sama lain. Sehingga TNI diberi kepercayaan," kata Salim Said.
Begitu juga kata dia, kenapa bangsa memilih demokrasi. Jawabnya simpel karena tidak ada pilihan. Dalam membangun demokrasi di Indonesia, Salim Said memastikan bangsa ini membutuhkan waktu lama mengingat peradaban di negeri ini rendah. Kendati, dia tidak setuju ketika ada pihak yang menyebut pembangunan demokrasi di Indonesia menuai kegagalan.
"Hati-hati gunakan kata demokrasi gagal, tapi yang ingin saya katakan jaga tekanan darah anda. Demokrasi itu butuh waktu lama karena peradaban rendah. Dalam mengeritik pemerintah juga harus sadar bagaimana kapasitas kita," imbuhnya.
Namun, sikap kritik masyarakat terhadap pemerintah harus dihidupkan sehingga ada kontrol terhadap pemerintahan, karena ini juga dibutuhkan sebagai kontrol terhadap jalannya pemerintahan. Ada kritik yang perlu diingat bahwa lebih bangga tidak kaya raya, tapi rakyatnya tidak miskin. Artinya, persoalan kemakmuran yang bisa dinikmati secara merata harus menjadi dasar perjuangan pemerintah yang semestinya.
Terhadap masalah kepemimpinan, Salim menyebut bahwa idea of power atau ide kekuasaan ada dalam budaya orang jawa. Dia mengutip apa yang pernah diucapkan Sri Sultan Hamenkubuwono X, yang menyebut bahwa tugas dia sebagai kesultanan tidak memerintah tapi memeliharta budaya.
Budaya orang Jawa ini masih ada yang menganggap orang luar sebagai orang yang tidak beradab. Faktor ini yang belum habis di jawab ketika dihadapkan pada masalah kepemimpinan, sehingga tidak salah kalau ada asumsi bahwa orang luar jawa sulit menjadi pemimpin di negeri ini.
Adapun Prof Hamdan Juhannis melihat bahwa ada masyarakat yang sepertinya ingin katakan kalau negeri ini sebaiknya dipimpin militer. Tapi di sisi lain juga ada dilema. Misalnya saat ini sudah dipimpin presiden berlatar belakang militer yakni Susilo Bambang Yudhoyono. Sayang dia dianggap suka bimbang dan cenderung tidak tegas.
Pangkalnya kata dia ada pada leadership yang mana tidak hadirnya strong leadership oleh pemerintah. Akibatnya banyak persoalan seperti TKI, masalah sosial, hingga harga diri bangsa jadi taruhan. Sehingga peran militer tetap ada ruang seperti misalnya sosok Prabowo Subianto yang oleh sebagian pihak sangat beda dengan SBY yang terkesan penurut.
Terhadap tokoh capres yang sudah bermunculan, Hamdan mengaku pesimis melihat capres alternatif dimana lebih banyak yang sudah berusia 60 tahun. "Saya pesimis kaum muda punya peran di pilpres 2014," kata Hamdan Juhannis.
Dia menambahkan, masyarakat Indonesia saat ini belum sepenuhnya siap berdemokrasi. Kenapa di dunia politik ada dikenal kutu loncat atau politisi yang loncat ke partai lain, karena para politisi di negeri ini lebih mengedepankan kepentingan pribadi ketimbangan kepentingan program.
Padahal seorang polisi yang ideal dan paham demokrasi secara baik, berjuang melalui partai politik harusnya mengedepankan program yang akan dilakukan di masyarakat. Sehingga sekalipun di partai belum mendapat kesempatan, tidak cepat-cepat loncat ke partai lain untuk mencapai ambisinya.
Terhadap kepemimpinan SBY-JK dan SBY Boediono, Hamdan Juhannis menyatakan bahwa kepemimpinan JK adalah sosok yang diperlukan bangsa ini. "Kita butuh pemimpin sekali seperti JK, kalau ada yang ragukan kita coba satu periode," tandasnya.
Salah seorang peserta diskusi, Muh Saleh memberi penilaian kalau elit politik di negeri ini banyak tidak konsisten dalam berpartai. Termasuk banyak lahir politisi dadakan. "Misalnya saja ada dosesn yang sebenarnya pemikirannya dibutuhkan di dunia kampus tiba-tiba loncat jadi politisi," kritik Saleh. (**)