Powered By Blogger

Senin, 27 Juni 2011

Kemiskinan dan Pendidikan Bisa Memicu Tindakan Radikal


*Dialog Publik Kemitraan Polri dan Masyarakat  dalam Menangani Radikalisme

AKSI radikalisme di tengah masyarakat pada dasarnya tidak pernah diinginkan, jika tindakan radikal itu merusak sendi kehidupan yang ada, kalau perlu radikalisme yang sifatnya merusak dijadikan musuh bersama.

LAPORAN HAMSAH

ISU radikalisme ini menjadi perbincangan menarik pada Dialog Publik Kemitraan Polri dan Masyarakat dalam Menangani Radikalisme, di Studi Utama FAJAR TV Lantai II Graha Pena Makassar, Senin, 27 Juni. Kegiatan yang digelar FAJAR TV kerja sama dengan Polda Sulsel ini, banyak membahas mengenai penanganan masalah radikalisme maupun penyebab munculkan aksi radikal di tengah masyarakat.
Dialog yang dipandu News Director FAJAR TV, Muh Yusuf AR ini menghadirkan empat pembicara masing-masing;  Wakapolda Sulsel, Brigadir Jenderal Polisi Syahrul Mamma, Prof Dr Kamaruddin Amin, Prof Dr Hamdan Juhannis, dan Dr Achyar Anwar.  
Mengawali dialog tersebut, Wakapolda terlebih dahulu memberikan pengantar. Dia menyebut, radikalisme atau pun tindakan serupa seperti terorisme harus menjadi musuh bersama, apalagi saat ini sasaran mereka tidak lagi pada kelompok tertentu saja, tapi sudah mulai membabi buta. Makanya, dialog seperti ini menurut dia, merupakan salah satu upaya Polri untuk memperkecil gerakan radikal.
Paling tidak, dengan dialog seperti ini,  mereka yang selama ini melakukan aksi radikal bisa mendapat pemahaman yang baik bahwa tindakan radikal merupakan aksi tidak terpuji dan tidak dibenarkan oleh agama apa pun. "Kita inginkan timbul pemahaman di masyarakat bahwa radikalisme dan teroris adalah perbuatan tidak terpuji," kata Syahrul.
Adapun Hamdan berpendapat bahwa isu radikal pada dasarnya tidak semuanya berkonotasi negatif, tapi bisa saja diarahkan kepada hal-hal positif. Misalnya saja kata dia, dalam berpikir terkadang harus radikal untuk meningkatkan pemikiran kita.
Yang menjadi persoalan kata Hamdan, ketika pemikiran radikan tersebut menjadi sebuah paham. Inilah yang berpotensi melahirkan aksi radikal. Yang pasti menurut dia, radikalisme tidak muncul begitu saja, namun dipengaruhi banyak faktor.
Salah satu faktor yang paling banyak memicu aksi radikal adalah masalah kemiskinan. Alasannya, orang miskin mudah dimobilisasi. Bahkan orang miskin terkadang sangat nekad untuk mencapai tujuan yang dinginkan yang menurutnya baik, kendati bagi orang lain dan lingkungannya malah tidak baik.
Nah untuk membangun kemitraan yang baik dengan masyarakat , polri kata dia harus mampu menyamakan persepsi dengan masyarakat, bahwa radikalisme adalah ancaman. "Kemitraan ini hanya bisa tercapai kalau masyarakat dan polri saling menguntungkan," kata Hamdan.
Sementara Dr Achyar menyebut, tindakan radikalisme yang dilakukan masyarakat, karena adanya dorongan untuk melakukan perubahan. Perubahan  yang diinginkan itu pada dasarnya memiliki tujuan baik. Hanya karena metode yang digunakan untuk melakukan perubahan tersebut sehingga memunculkan masalah.
"Radikalisme biasanya karena ada proses spiritual. Kemiskinan yang parah juga menjadi pemicu radikalisme, tapi menurut saya tidak semua radikal itu negatif. Karena menurut saya radikal itu sangat kompleks," kata Achyar.
Selain itu, pemerintahan yang korup, juga bisa menjadi pemicu lahirnya aksi radikal di tengah masyarakat, karena adanya ketidakpuasan terhadap pemerintah. "Begitu juga polri, kalau ingin mengubah perilaku polisi yang masih banyak tidak disenangi masyarakat, juga harus melakukan tindakan radikal untuk melakukan perubahan dan mencitrakan  polisi yang baik," katanya.
Bagi Prof Kamaruddin, radikalisme yang terkait dengan agama merupakan bagian dari dinamika globalisasi. Dia malah khawatir, aksi radikal ini malah tidak bisa dibendung, jika tidak ada langkah tepat yang dilakukan pihak terkait. Dia bahkan melihat, gerakan radikal yang terjadi tidak secepat gerakan yang dilakukan NU dan Muhammadiyah.
 "Yang harus disentuh adalah ideologi mereka, karena kalau ideologi mereka tidak bisa disentuh, maka mereka tidak bisa dilemahkan. Karena ideologi menurut saya merupakan penyemangat dan pemicu bagi mereka untuk melakukan gerakan yang tergolong nekad," kata Kamaruddin.
Dia juga sependapat dengan pembicara sebelumnya yang mengatakan bahwa pelaku aksi radikal itu juga memiliki tujuan yang baik. Namun karena metode yang digunakan keliru, sehingga mereka dikategorikan melakukan aksi radikal. (**)

                   

Kemiskinan dan Pendidikan Bisa Memicu Tindakan Radikal


*Dialog Publik Kemitraan Polri dan Masyarakat  dalam Menangani Radikalisme

AKSI radikalisme di tengah masyarakat pada dasarnya tidak pernah diinginkan, jika tindakan radikal itu merusak sendi kehidupan yang ada, kalau perlu radikalisme yang sifatnya merusak dijadikan musuh bersama.

LAPORAN HAMSAH

ISU radikalisme ini menjadi perbincangan menarik pada Dialog Publik Kemitraan Polri dan Masyarakat dalam Menangani Radikalisme, di Studi Utama FAJAR TV Lantai II Graha Pena Makassar, Senin, 27 Juni. Kegiatan yang digelar FAJAR TV kerja sama dengan Polda Sulsel ini, banyak membahas mengenai penanganan masalah radikalisme maupun penyebab munculkan aksi radikal di tengah masyarakat.
Dialog yang dipandu News Director FAJAR TV, Muh Yusuf AR ini menghadirkan empat pembicara masing-masing;  Wakapolda Sulsel, Brigadir Jenderal Polisi Syahrul Mamma, Prof Dr Kamaruddin Amin, Prof Dr Hamdan Juhannis, dan Dr Achyar Anwar.  
Mengawali dialog tersebut, Wakapolda terlebih dahulu memberikan pengantar. Dia menyebut, radikalisme atau pun tindakan serupa seperti terorisme harus menjadi musuh bersama, apalagi saat ini sasaran mereka tidak lagi pada kelompok tertentu saja, tapi sudah mulai membabi buta. Makanya, dialog seperti ini menurut dia, merupakan salah satu upaya Polri untuk memperkecil gerakan radikal.
Paling tidak, dengan dialog seperti ini,  mereka yang selama ini melakukan aksi radikal bisa mendapat pemahaman yang baik bahwa tindakan radikal merupakan aksi tidak terpuji dan tidak dibenarkan oleh agama apa pun. "Kita inginkan timbul pemahaman di masyarakat bahwa radikalisme dan teroris adalah perbuatan tidak terpuji," kata Syahrul.
Adapun Hamdan berpendapat bahwa isu radikal pada dasarnya tidak semuanya berkonotasi negatif, tapi bisa saja diarahkan kepada hal-hal positif. Misalnya saja kata dia, dalam berpikir terkadang harus radikal untuk meningkatkan pemikiran kita.
Yang menjadi persoalan kata Hamdan, ketika pemikiran radikan tersebut menjadi sebuah paham. Inilah yang berpotensi melahirkan aksi radikal. Yang pasti menurut dia, radikalisme tidak muncul begitu saja, namun dipengaruhi banyak faktor.
Salah satu faktor yang paling banyak memicu aksi radikal adalah masalah kemiskinan. Alasannya, orang miskin mudah dimobilisasi. Bahkan orang miskin terkadang sangat nekad untuk mencapai tujuan yang dinginkan yang menurutnya baik, kendati bagi orang lain dan lingkungannya malah tidak baik.
Nah untuk membangun kemitraan yang baik dengan masyarakat , polri kata dia harus mampu menyamakan persepsi dengan masyarakat, bahwa radikalisme adalah ancaman. "Kemitraan ini hanya bisa tercapai kalau masyarakat dan polri saling menguntungkan," kata Hamdan.
Sementara Dr Achyar menyebut, tindakan radikalisme yang dilakukan masyarakat, karena adanya dorongan untuk melakukan perubahan. Perubahan  yang diinginkan itu pada dasarnya memiliki tujuan baik. Hanya karena metode yang digunakan untuk melakukan perubahan tersebut sehingga memunculkan masalah.
"Radikalisme biasanya karena ada proses spiritual. Kemiskinan yang parah juga menjadi pemicu radikalisme, tapi menurut saya tidak semua radikal itu negatif. Karena menurut saya radikal itu sangat kompleks," kata Achyar.
Selain itu, pemerintahan yang korup, juga bisa menjadi pemicu lahirnya aksi radikal di tengah masyarakat, karena adanya ketidakpuasan terhadap pemerintah. "Begitu juga polri, kalau ingin mengubah perilaku polisi yang masih banyak tidak disenangi masyarakat, juga harus melakukan tindakan radikal untuk melakukan perubahan dan mencitrakan  polisi yang baik," katanya.
Bagi Prof Kamaruddin, radikalisme yang terkait dengan agama merupakan bagian dari dinamika globalisasi. Dia malah khawatir, aksi radikal ini malah tidak bisa dibendung, jika tidak ada langkah tepat yang dilakukan pihak terkait. Dia bahkan melihat, gerakan radikal yang terjadi tidak secepat gerakan yang dilakukan NU dan Muhammadiyah.
 "Yang harus disentuh adalah ideologi mereka, karena kalau ideologi mereka tidak bisa disentuh, maka mereka tidak bisa dilemahkan. Karena ideologi menurut saya merupakan penyemangat dan pemicu bagi mereka untuk melakukan gerakan yang tergolong nekad," kata Kamaruddin.
Dia juga sependapat dengan pembicara sebelumnya yang mengatakan bahwa pelaku aksi radikal itu juga memiliki tujuan yang baik. Namun karena metode yang digunakan keliru, sehingga mereka dikategorikan melakukan aksi radikal. (**)

                   

Peran Hakim Adhoc Masih Kurang


MAKASSAR--Peran Hakim Adhoc yang dibentuk di Pengadilan Negeri Makassar, guna menyidangkan kasus-kasus tindak pidana korupsi yang terjadi di Sulsel, dinilai masih kurang. Alasannya, dalam persidangan kasus korupsi, majelis hakim yang dominan adalah hakim karir.
Penilaian ini disampaikan salah seorang pengacara di daerah ini, Mursalim. Mestinya kata dia, hakim adhoc tersebut lebih banyak diberi peran dalam proses persidangan kasus korupsi yang ada di PN Makassar. Apalagi hakim ini dibentuk memang untuk menyidangkan perkara yang terkait dengan kasus tindak pidana korupsi.
Dalam persidangan kasus korupsi misalnya, ketiga jumlah majelis hakim yang dilibatkan dalam perkara itu sebanyak tiga orang, maka hakim adhoc yang dilibatkan hanya satu orang, sementara hakim karir dua orang. "Mestinya hakim adhoc yang jumlahnya dua orang, sehingga mereka lebih banyak diberi peran," kata Mursalim, Senin, 27 Juni.           
Dengan begitu kata dia, hakim adhoc yang ada di daerah ini bisa cepat menyesuaikan kemampuannya dalam menyidangkan perkara korupsi yang ditanganinya. Menurut dia, yang menjadi tantangan bagi hakim adhoc ada pada penyusunan dalam vonis perkara.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Macazzart Intellectual Law, Supriansa berpendapat bahwa hakim adhoc yang baru saja dilantik beberapa bulan lalu memang butuh kerja keras, untuk menyesuaikan kemampuannya dalam melakukan proses sidang dengan hakim karir yang sudah banyak pengalaman.
"Harpan kita, hakim adhoc ini mampu menjadi hakim yang benar-benar melahirkan putusan yang menjadi harapan keadilan. Karena itu harus kerja keras untuk sejajar dengan hakim karir. Kita tidak bermaksud menyepelekan kemampuan hakim adhoc, tapi tentu pengetahuan dan pengalaman mereka tentu akan berbeda dengan hakim karir yang memang basiknya di bidang kehakiman," jelas Supriansa.
Makanya, dia berpendapat bahwa dominasi hakim karir dalam penanganan kasus korupsi di daerah ini wajar, karena malah dikhawatirkan kalau hakim adhoc yang diberi wewenang terlalu besar dalam penanganan perkara korupsi, putusan yang dilahirkan malah meragukan.
"Hakim adhok itu kan belum memiliki banyak pengalaman dalam persidangan. Kita juga tidak ingin hasil yang dihasilkan tidak memberikan keadilan," kata Supriansa. (hamsah umar) 

Tiga IRT Curi Kemeja di Ramayana


MAKASSAR--Tiga ibu rumah tangga (IRT) tertangkap berusaha mencuri kemeja di Ramayana, Jalan Adyaksa Baru, Makassar. Pelaku  pencurian yang saat ini ditahan di Polsekta Panakkukang itu berusaha mencuri beberapa lembar pakaian dengan cara memasukkan ke tas jinjing mereka. 
Ketiga pelaku pencurian tersebut diketahui bernama 
Andi Marwati, Irawati dan Ani. Pakaian jenis kemeja yang diambil ketiga pelaku itu bermerek Lasain dan D'britano. Para pelaku ini menjalankan aksinya dengan cara bersama. Ada yang bertugas mengawasi penjaga toko, dan lainnya mengambil barang lalu dimasukkan dalam tas.
Sebelum mengambil pakaian, mereka terlihat asik memilih-milih pakaian layaknya warga lain yang sedang berbelanja. Namun saat melakukan aksinya itu, pihak penjaga toko sudah mulai curiga dengan gerak-gerik ketiganya hingga dia terus diawasi oleh pramuniaga.
Saat berusaha meninggalkan kasir, petugas keamanan di Ramayana dan karyawan kemudian melakukan penggeledahan terhadap ketiganya. Setelah diperiksa, dugaan bahwa mereka mengambil barang tanpa dibayar benar. Karyawan menemukannya dari tas pelaku.
Ketiga IRT yang kompak mencuri kemeja itu berasal dari alamat yang berbeda-beda, ada yang beralamat di BTP, dan Antang. 
KapolsektaPanakukang, Kompol Muhammad Nur Akbar membenarkan adanya IRT yang ditangkap karena melakukan pencurian pakaian di toko. Dia kata dia ditangkap security toko kemudian diserahkan ke Polsekta Panakkukang. Ada dugaan,  pelaku sudah sering melakukan aksinya. "Bahkan ada salah seorang pelaku yang sudah pernah ditangkap sebelumnya karena melakukan pencurian," kata Akbar. (hamsah umar)

Kakek Tertangkap Sabu-sabu di Hotel


MAKASSAR--Edi Kallo salah seorang kakek berusia 58 tahun tertangkap mengonsumsi sabu-sabu di kamar 303, Hotel Harapan, Jalan Sungai Poso, Senin, 27 Juni sekira pukul 02.00. Dari tangan tersangka ini, polisi berhasil mengamankan barang bukti berupa empat paket sabu-sabu sekitar  4 gram, satu bong, dan barang bukti lainnya.
Tersangka yang merupakan warga keturunan Tionghoa ini, diduga tidak sekadar mengonsumsi sabu-sabu tapi juga mengedarkannya. Apalagi, dalam mengonsumsi sabu-sabu ini, tersangka sering pindah-pindah hotel atau tempat untuk mengonsumsinya. Tersangka terakhir tercatat sebagai warga Sudiang Makassar.
Penangkapan tersangka dari kamar hotel itu, dilakukan polisi berkat informasi dari masyarakat yang menyebutkan tersangka mengonsumsi sabu-sabu di kamar hotel. Informasi inilah yang ditindak lanjuti polisi dengan  melakukan penggerebekan. Saat digerebek, tersangka dalam kondisi setengah telanjang alias hanya menggunakan celana dalam.
Edi Kallo yang sudah memiliki banyak cucu ini termasuk pecandu narkoba. Pasalnya, tersangka yang satu ini baru beberapa bulan lalu bebas dari tahanan setelah dipenjara dua tahun dalam kasus yang sama. Sebelumnya dia ditangkap Polres Pelabuhan. "Dia pecandu bahkan kita curigai sebagai pengedar. Tersangka saat ini kita amankan di sel," kata Kanit Reskrim Polsekta Makassar, Herman Simbolon.
Hasil penyelidikan yang dilakukan polisi dan pengakuan tersangka, barang terlarang itu diperoleh dari salah seorang rekan di Jakarta, bernama Eg. Makanya, polisi mengaku masih melakukan pengembangan atas penangkapan kasus sabu-sabu tersebut. Ironisnya, barang terlarang yang dibawa tersangka untuk di konsumsi itu disembunyikan pada salah satu Alkitab.
Ditemui di sel Polsekta Makassar, Edi mengaku kalau sabu-sabu yang dikonsumsi di kamar hotel tersebut dibeli sebesar Rp1,1 juta. Dia mengaku telah mengonsumsi sabu-sabu itu setelah barang tersebut diterima. Hanya saja, tersangka membantah dugaan penyidik kepolisian yang menyebut dirinya termasuk pengedar sabu-sabu.
"Saya cuma memakai dan tidak pernah mengedarkannya kepada orang lain. Saya membeli banyak karena untuk persiapan dalam jangka lama. Kebetulan saya menggunakan untuk menyegarkan fisik," kata Edi. (hamsah umar)