*Ketua Sub Komisi Partisipasi Masyarakat Komnas Perempuan, Andy Yentriyani
ISU mengenai kasus kekerasan terhadap perempuan sejak reformasi bergulir pada 1998 lalu, masih menjadi fenomena di tengah masyarakat, bahkan menunjukkan peningkatan yang cukup berarti dari tahun ke tahun. Parahnya, pelaku kekerasan terhadap perempuan ini, tidak hanya dari kalangan masyarakat tidak berpendidikan, tapi juga dari kalangan masyarakat yang memiliki pengetahuan memadai sebut saja aparat pemerintahan. Bagaimana Komnas Perempuan menyikapi kenyataan pahit itu?, Berikut wawancara wartawan Harian FAJAR, HAMSAH Umar dengan
Ketua Sub Komisi Partisipasi Masyarakat Komnas Perempuan, Andy Yentriyani di redaksi Harian FAJAR beberapa waktu lalu.
Seperti apa perjalanan Komnas Perempuan?
Perlu saya sampaikan bahwa Komnas Perempuan ini terbentuk setelah reformasi berlangsung, seiring dengan terbentuknya Komnas HAM. Jadi komini ini ditempat masih atas persetujuan Presiden RI II, BJ Habibi. Di sinilah kita mulai melakukan advokasi terhadap berbagai kekerasan dan teror terhadap perempuan.
Kita tidak bisa pungkiri bahkan peristiwa reformasi pada Mei 1998 lalu, juga mengakibatkan banyak kaum perempuan menjadi korban kekerasan yang dilakukan berbagai pihak. Jenis kekerasan yang dialami kaum perempuan ini tidak hanya fisik, tapi juga kekerasan seksual. Bahkan data menunjukkan bahwa hampir sepertiga kasus kekerasan terhadap perempuan adalah kasus kekerasan seksual.
Seberapa besar kekerasan seksual yang terjadi selama ini?
Berdasarkan hasil dokumentasi yang dihimpun Komnas Perempuan sejak tahun 1998-2010, menunjukkan bahwa ada sedikitnya 69 ribu lebih kasus kekerasan seksual dari 295.836 kasus kekerasan terhadap perempuan yang terjadi selama ini. Data-data ini kita peroleh berdasar catatan tahunan yang kita himpun dari berbagai lembaga layanan bagi perempuan korban kekerasan tentang trend pelaporan dan penanganan kasus kekerasan pada perempuan.
Data itu juga kita peroleh dari hasil pemantauan Komnas Perempuan tentang pengalaman kekerasan perempuan dalam konteks Aceh, Poso, tragedi 1965, Ahmadiyah, Migrasi, Papua, Ruteng, Pelaksanaan otonomi daerah, dan rujukan Komnas Perempuan pada data tim gabungan pencari fakta (TGPF) peristiwa kerusuhan Mei 1998, serta Komisi Penerimaan
Kebenaran dan Rekonsiliasi Timor Leste (CAVR).
Siapa saja pelaku kekerasan seksual ini?
Dari jumlah kasus kekerasan seksual terhadap perempuan, terbanyak melakukan kekerasan ada pada ranah personal. Artinya kasus itu dilakukan oleh orang yang masih memiliki hubungan darah, kekerabatan, perkawinan, dan relasi intim. Banyaknya kasus di tingkat personal ini, bisa jadi karena kehadiran Undang-undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), dimana aturan ini
sudah disosialisasi secara luas.
Juga bisa jadi karena bertambahnya lembaga yang dapat diakses oleh perempuan korban kekerasan, serta meningkatkan kepercayaan korban pada proses keadilan dan pemulihan yang dapat yang ia peroleh dengan melaporkan kasusnya.
Dalam konteks moralitas, kekerasan seksual lebih sering dipahami sebagai pelanggaran terhadap kesusilaan semata. Ini membuat kekerasan seksual dipandang kurang penting dibandingkan dengan isu kejahatan lain seperti pembunuhan atau penyiksaan. Padahal korban kekerasan seksual dapat menghancurkan seluruh integritas hidup korban sehingga merasa tidak bisa lagi melanjutkan hidupnya.
Apa bentuk lain kekerasan yang sering dialami perempuan?
Kekerasan terhadap perempuan memang sangat beragam. Selain seksual, yang paling sering kita dengar dan temukan adalah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Kasus KDRT ini dipicu oleh banyak faktor. Bahkan kasus KDRT ini merupakan bentuk kekerasan pada perempuan yang paling dominan yakni mencapai 96 persen. Untuk 2010 saja, tercatat 98.577 kasus kekerasan terhadap istri. Ada juga kekerasan terhadap anak perempuan dengan jumlah korban 1.299, serta kekerasan dalam pacaran
sebanyak 600 kasus.
Kondisi seperti ini tentu saja masih menjadi keprihatinan kita semua, apalagi diskriminasi terhadap perempuan masih terus berlangsung. Makanya, Komnas Perempuan terus melakukan berbagai upaya agar persoalan perempuan utamanya dalam memperoleh hak-haknya bisa tercapai. Penanganan masalah kekerasan perempuan ini perlu mendapat penanganan serius oleh semua pihak. Tanpa adanya keinginan kuat dari semua pihak, kasus kekerasan yang dialami perempuan masih akan muncul.
Dalam hal kebijakan, bagaimana Komnas Perempuan melihatnya?
Kebijakan pemerintah utamanya yang berkaitan dengan isu perempuan saya melihat banyak yang diskriminatif. Itu karena kebijakan itu telah membatasi bahkan menghalangi hak-hak konstitusional yang seharusnya dijamin negara. Misalnya saja, kedudukan yang sama dalam negara atau pemerintahan, hak perlindungan dari ketakutan, dan bentuk diskriminatif lainnya terhadap perempuan.
Bahkan hingga 2010 ini, Komnas Perempuan mencatat setidaknya ada 189 kebijakan pemerintah yang terkesan diskriminatif. Jika dibandingkan dengan kebijakan yang kondusif terhadap hak konstitusional perempuan, hanya kita temukan sekitar 46 kebijakan yang dikategorikan kondusif terhadap perempuan, dimana enam kebijakan muncul pada 2010.
Dari enam kebijakan itu, tiga di antaranya dikeluarkan Pemkab Bulukumba terkait program terpadu peningkatan peran wanita menuju keluarga sejahtera sehat (P2WKSS), Kelompok kerja pengarusutamaan gender, dan pembentukan tata kerja puat pelayanan terpadu pemberdayaan perempuan dan anak. Sedang tiga kebijakan lainnya dikeluarkan Tasikmalaya tentang kesehatan reproduksi, Donggala dengan program keterwakilan dan partisipasi perempuan, serta Kabupaten Banjar melalui program pengarusutamaan gender.
Sebenarnya apa yang menjadi hambatan mengakses keadilan bagi perempuan?
Komnas Perempuan mencatat ada empat faktor yang membuat perempuan sulit mengakses keadalian dan pemulihan. Keempat faktor tersebut adalah faktor personal, budaya, hukum, dan politik. Semuanya ini saling keterkaitan dan menentukan tingkat kepercayaan korban untuk melaporkan kasusnya, menuntut keadilan dan pemulihan hak.
Perempuan bisa menderita trauma akibat berbagai kekerasan yang dialami sehingga tidak bersedia melaporkan kasus yang dialaminya. Sedang konsep moralitas dan aib juga cenderung menyalahkan korban, dan meragukan kesaksiannya dan berbagai hambatan lainnya.
Lalu seperti apa langkah yang dilakukan Komnas Perempuan?
Komnas Perempuan akan terus membangun pemahaman publik tentang kekerasan terhadap perempuan, sambil mengajak setiap anggota masyarakat aktif menangani kekerasan perempuan, salah satunya melalui kampanye 16 hari anti kekerasan terhadap perempuan (K16HAKTP).
Peran masyarakat ini penting untuk menguatkan korban agar tidak bungkam, juga untuk memastikan korban mendapat dukungan dalam pemulihan dirinya dari berbagai pengucilan di masyarakat. (**)