Powered By Blogger

Rabu, 04 Januari 2012

Empat Warga Ditangkap Berjudi


MAKASSAR, FAJAR--Unit Operasional Polsekta Wajo menangkap empat warga di Jalan Kodingareng Lr 188 Makassar, karena terlibat perjudian menggunakan kartu domino. Keempat warga tersebut ditangkap Selasa, 3 Januari sekira pukul 19.00.
Keempat tersangka judi yang ditangkap polisi ini masing-masing Muh Rudi (38), Farman (27), Sariful (54), dan Umar (55). Keempatnya adalah warga  Jalan Salemo Lr 159 No.6, Jalan Kodingareng Lr 188 No.32, Jalan Kalimantan Kompleks PU No.4, dan warga Desa Banggae, Kecamatan Manggarabombang Takalar.
Dari tangan keempat pemain judi ini, polisi menyita barang bukti berupa kartu domino, alat tulis berupa pulpen dan buku, serta uang tunai sebesar Rp345 ribu. Saat polisi melakukan penggerebekan terhadap lokasi perjudian ini, keempat pelaku tidak bisa berkutik apalagi tertangkap tangan bermain judi, belum lagi sejumlah barang bukti disita dari tangan tersangka.
Selain menangkap empat tersangka, polisi juga menjadikan seorang warga Jalan Mongisidi Baru No.7 Makassar, Alex (43) sebagai saksi. Warga tersebut ikut dimintai keterangan penyidik karena pada saat penggerebekan dilakukan, warga tersebut ada di lokasi kejadian. Umumnya, pelaku judi yang ditangkap ini adalah buruh harian dan pekerjaan tidak tetap.
Kapolsekta Wajo, Kompol Sumarno membenarkan adanya empat warga yang ditangkap karena bermain judi. Keempat warga itu kata dia saat ini sementara menjalani pemeriksaan oleh pihak kepolisian. Saat ini, keempat warga tersebut mendekam di sel Polsekta Wajo. (hamsah umar)
 
         

Selasa, 03 Januari 2012

Karyawan MGH Tuntut Kesejahteraan


MAKASSAR, FAJAR--Puluhan karyawan Makassar Golden Hotel (MGH) melakukan aksi unjuk rasa dan memilih tidak masuk kerja, karena menuntut kesejahteraan. Mereka mendesak manajemen MGH segera memberlakukan upah minimum sebesar Rp1,2 juta per bulan. Aksi mereka lakukan di depan MGH, Selasa, 3 Januari.
Karyawan yang tergabung dalam Serikat Pekerja Pariwisata Reformasi ini mendesak manajemen MGH, agar perlakuan diskriminasi terhadap karyawan segera dihentikan. "Hentikan diskriminasi dan intimidasi yang memojokkan karyawan, dan segera berlakukan pemberian upah berasar standar upah minimum," kata koordinator aksi, A Pupu.
Tidak hanya itu, para karyawan ini mendesak pihak hotel untuk menghapus sistem kontrak kerja yang tidak memberikan kejelasan terhadap karyawan. Apalagi menurut mereka, sistem kontrak kerja seperti ini sangat merugikan karyawan karena tidak memiliki kejelasan masa depan.
Karyawan juga mempersoalkan pemotongan gaji karyawan yang tidak jelas pemamfaatannya. Menurut karyawan, gaji yang diperoleh selama ini jauh dari standar UMP yang hanya mencapai Rp700 ribu per bulan. "Sudah kecil di potong  lagi. Makanya kita menuntut tidak ada lagi pemotongan gaji karyawan," tambahnya.
  Dalam aksinya, para karyawan MGH ini mengancam akan terus melakukan aksi mogok kerja serta demo jika tuntutan mereka akan tingkat kesejahteraan tidak dipedulikan. Bahkan, dia mengancam akan melakukan aksi lebih besar kalau tuntutan mereka tidak direalisasikan.
Marcom MGH, Ivonne Tumbelaka yang dikonfirmasi menegaskan bahwa penentuan standar gaji karyawan dilakukan berdasarkan klasifikasi jabatan dan masa kerja. Namun dia menyebutkan bahwa tidak satu pun karyawan MGH yang menerima pendapatan hanya Rp700 ribu per bulan. "Kalau gaji pokok mereka saya tidak memahami, namun jumlah penghasilan yang diterima karyawan berkisar Rp2 juta per bulan," kata Ivonne.
Dia menyebut, karyawan MGH menerima gaji pokok pada awal bulan, sementara pada pertengah bulan mereka mendapat service cash. "Jadi karyawan dua kali  menerima gaji sebulan. Jadi  gaji karyawan yang demo  ini setiap bulan di atas Rp1,5 juta atau berkisar Rp2 juta," tambahnya.
Soal pemotongan gaji, Ivonne menjelaskan bahwa pemotongan dimaksud untuk kepentingan jamsostek serta tanggungan konsumsi karyawan. Makanya dia membantah kalau pemotongan gaji karyawan tidak jelas peruntukannya. (hamsah umar)              
      

Perampok Polisi Diduga Kabur Keluar Sulsel


MAKASSAR, FAJAR--Dua pelaku perampokan anggota Intel Polres Gowa, Briptu Andi Abdullah di kompleks Villa Mutiara Klaster Elok 12 No.10, Jalan Ir Sutami Makassar, masing-masing Adi dan Rony ditengarai melarikan diri keluar Sulsel. Dugaan itu menguat setelah proses pengejaran tersangka belum membuahkan hasil positif.
Hanya saja, polisi belum bisa memastikan ke provinsi mana kedua tersangka tersebut melarikan diri. Meski begitu, pihak kepolisian masih terus melakukan pelacakan dan pengejaran kedua tersangka yang menjadi gembong perampokan polisi ini.
Kasubag Humas Polrestabes Makassar, Kompol Mantasiah yang dikonfirmasi Selasa, 3 Januari membenarkan kalau proses pengejaran terhadap tersangka ini masih dilakukan polisi. "Tapi keduanya belum berhasil kita tangkap. Kemungkinan dia sudah kabur keluar Sulsel," kata Mantasiah.
Berdasar informasi yang diperoleh, salah satu perampok yang berhasil kabur itu diketahui tercatat sebagai warga Maros. Namun sejauh ini tersangka belum berani ke rumah keluarganya di daerah itu karena ditengarai sudah mengetahui dirinya dalam pengejaran aparat kepolisian. 
Kedua tersangka ini berhasil kabur dengan membawa sejumlah barang berharga milik korban berupa uang tunai Rp1,5 juta, laptop, beberapa buah handphone. Dua pelaku tersebut kabur saat seorang temannya terlibat perkelahian dengan korban, namun rekan tersangka ini tewas setelah diberondong peluru oleh korban.
Kapolsekta Biringkanaya, Kompol Mursalim juga membenarkan kalau kedua tersangka tersebut masih dalam pengejaran. Mursalim sendiri optimis kedua tersangka yang berhasil kabur itu segera ditangkap kendati sejauh ini keberadaan pastinya masih dalam upaya pelacakan. 
Pihak penyidik menduga, tersangka terus bergerak dari satu tempat ke lokasi berbeda untuk menghindari upaya pelacakan aparat kepolisian. Pasalnya beberapa lokasi yang disasar polisi, tersangka tidak berhasil ditemukan. (hamsah umar) 
                   

FIS UNM Tunggu Penanganan Polisi


MAKASSAR, FAJAR--Belasan mahasiswa UNM baik dari Fakultas Ilmu Keolahragaan maupun Fakultas Ilmu Sosial (FIS), yang terlibat pengeroyokan dan penikaman terhadap dua mahasiswa jurusan Sejarah FIS UNM, Irfan dan I Gede Justiasta bakal diproses pihak kampus utamanya FIS dan FIK.
Hanya saja, sebelum belasan mahasiswa yang diduga terlibat penikaman dan pembunuhan itu belum diproses pihak kampus dengan alasan, kampus terlebih dahulu menunggu proses yang berjalan di kepolisian. Yang pasti, pihak UNM tidak akan memberikan toleransi terhadap 
mahasiswa yang terlibat tindak pidana apalagi yang telah ditetapkan tersangka oleh pihak kepolisian.
Pembantu Dekan III FIS UNM, Jumadi menegaskan sanksi mahasiswa yang melakukan pelanggaran sangat jelas. Namun sebelum sanksi ini dijatuhkan, pihak UNM tetap memproses mahasiswa tersebut melalui komisi disiplin (komdis) fakultas.
"Kalau mengacu pada aturan di internal kita, sudah ditegaskan bahwa mahasiswa yang terlibat pelanggaran hukum dan ditetapkan tersangka oleh kepolisian, maka sanksinya adalah pemecatan," tegas Jumadi.
Terhadap mahasiswa yang diduga terlibat penganiayaan hingga mengakibatkan seorang mahasiswa UNM tewas, Jumadi menegaskan bahwa pihaknya hingga saat ini belum memiliki data mengenai siapa saja mahasiswa  yang ditengarai terlibat. Makanya dia masih menunggu data resmi dari pihak kepolisian  soal identitas mahasiswa yang dicurigai terlibat. "Kita tunggu prosesnya berjalan di kepolisian. Namun seluruh mahasiswa yang terlibat akan kita rekomendasikan untuk dipecat," katanya.
Dalam kasus penikaman yang mengakibatkan seorang mahasiswa FIS tewas, polisi diharapkan bisa mengungkap seluruh mahasiswa yang terlibat mulai eksekutor hingga otak dibalik pengeroyokan dan penikaman dua mahasiswa UNM.
Kapolsekta Rappocini, AKP Ahmad Mariadi menegaskan bahwa pihaknya akan terus berkoordinasi dengan pihak kampus mengenai mahasiswa yang diduga terlibat pengeroyokan. Yang pasti menurutnya, data-data mahasiswa  yang disebut ikut dalam peristiwa ini sudah diperoleh polisi setelah berhasil menangkap pelaku utama penikaman Irwanto alias Melky. Dalam kasus ini, tersangka menikam korban menggunakan sangkur.
Dalam kasus penikaman dan pembunuhan mahasiswa UNM ini, pelaku bakal dijerat dengan pasal berlapis. di antaranya Pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana, Pasal 338 KUHP tentang pembunuhan, Pasal 351 KUHP tentang penganiayaan, Pasal 170 KUHP tentang Kekerasan Terhadap Orang atau Barang di Muka Umum secara bersama-sama, dan Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951 tentang kepemilikan senjata tajam. (hamsah umar)

Goodwill Penegak Hukum Rendah


KENDATI lembaga penegak hukum utamanya kejaksaan dan kepolisian sudah mengeluarkan surat edaran, agar kasus korupsi menjadi salah satu prioritas yang harus dituntaskan di daerah, namun tingkat penyelesaian perkara korupsi di Sulsel tampaknya belum sesuai harapan.
Lihat saja kasus dugaan korupsi yang ditangani jajaran Kejaksaan Tinggi Sulsel dan Polda Sulsel. Di Kejati, jumlah kasus korupsi yang ditangani menghampiri angka 200 kasus, namun jumlah yang selesai hanya mencapai puluhan kasus. Begitu juga kasus korupsi yang ditangani Polda Sulsel. Dari sekitar 57 kasus yang ada, tingkat finalisasi kasus korupsi hanya mencapai 48 persen.
Dengan kata lain, dua lembaga penegak hukum di wilayah Sulsel sejauh ini hanya mampu menyelesaikan perkara korupsi di bawah 50 persen. Kondisi ini tentu saja bertolak belakang dengan keinginan petinggi Polri dan Kejaksaan Agung  bahwa kasus korupsi harus diprioritaskan. Bahkan, berdasar salah satu surat edaran Kejaksaan Agung, penyidik kejaksaan ditarget mampu menyelesaikan penanganan perkara korupsi dalam tempo tiga bulan.
Berkaca pada tingkat penyelesaian perkara korupsi di Sulsel yang tidak melebih angka 50 persen ini, Direktur Anti Coruption Commitee (ACC) Sulsel, Abdul Muttalib mengatakan bahwa penyelesaian kasus korupsi pada dasarnya tidak memiliki banyak hambatan, utamanya kalau dikaitkan dengan persoalan bukti-bukti dugaan terjadinya tindak pidana korupsi.
Namun, Muttalib menyebut kendala yang terjadi di Sulsel lebih karena niat baik atau goodwill penegak hukum dalam penanganan korupsi masih sangat rendah. Akibatnya, proses penanganan kasus dugaan korupsi baik yang terjadi di kepolisian maupun di kejaksaan banyak yang tidak jelas dan mandek dengan berbagai alibi.
Kasus bantuan sosial (bansos) Pemprov Sulsel 2008 yang diduga merugikan negara Rp8,8 miliar, baru kembali mulai bergerak dan ditingkatkan ke penyidikan. Ini artinya, ketika penegak hukumnya memiliki goodwill, maka perkara korupsi dipastikan akan berjalan sesuai harapan.  
"Kalau penegak hukumnya memiliki keinginan serius untuk menuntaskan kasus korupsi yang ditanganinya, saya  kira perkara korupsi di daerah ini akan mudah dituntaskan. Tapi karena goodwill-nya tidak ada, maka penyelesaian kasus korupsi banyak yang mandek," kata  Muttalib.
Salah satu bukti bahwa penegak hukum tidak memiliki niat baik dalam penyelesaian kasus korupsi, karena sejauh ini pelibatan masyarakat dalam penanganan perkara korupsi belum dimaksimalkan. Padahal kata dia, dalam surat edaran Kejaksaan Agung dan Polri, lembaga penegak hukum ini juga diminta untuk melibatkan  masyarakat. 
"Tapi ternyata kan masyarakat kurang dilibatkan. Misalnya saja kalau penegak hukum benar-benar serius, setiap ada ekspose perkara korupsi bisa saja melibatkan masyarakat utamanya aktivis anti korupsi. Apalagi mereka yang memang memiliki data mengenai dugaan terjadinya tindak pidana korupsi," jelas Muttalib.
Makanya, dia menilai penegak hukum di daerah ini cenderung jalan sendiri, dan tidak mau melibatkan peran serta masyarakat secara baik. Kalau saja  penegak hukum mau terbuka kepada masyarakat, dipastikan respons masyarakat terhadap penegak hukum akan lebih baik lagi. (hamsah umar)