MAKASSAR, FAJAR--Usul penundaan 43 pemilukada termasuk lima di Sulsel dari 2013 menjadi 2015 oleh Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Gamawan Fauzi perlu dikaji ulang.
Kendati wacana pimilukada serentak yang diinisiasi Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) merupakan konsep ideal masa depan demokrasi di Indonesia, tapi waktu penerapannya perlu kajian lebih mendalam dan dianalisis dari berbagai perspektif apakah akan dimajukan atau diundurkan.
"Wacana 43 pilkada yang berakhir periodisasinya pada tahun 2014 agar dimundurkan ke tahun 2015 wacana yang prematur, terkesan dipaksakan, dan tidak proporsional," Direktur Komunitas Pekerja Demokrasi dan HAM Sulsel, Rahmanuddin Makkaraka, Minggu, 2 September.
Seharusnya dari 43 pilkada itu, dipilah dan kemudian dipilih yang mana memang perlu dimundurkan dan yang mana justru memang harus dimajukan. Pilkada yang berakhir periodenya Juli 2014 ke atas, bisa diundur ke 2015, karena meski dimajukan 6 bulan sesuai amanat undang-undang, tetap pelaksanaannya akan jatuh pada 2014 sehingga tetap beririsan dengan pelaksanaan pemilihan legislatif (pileg) dan pemilihan presiden (pilpres).
Apabila 43 pemilukada dilakukan secara tidak proporsional dan tidak rasional secara keseluruhan dengan tanpa dipilah dan dikelompokkan untuk ditunda ke 2015, akan terjadi krisis legetimasi dan berpotensi penyalahgunaan kekuasaan dari seorang caretaker atau pejabat Bupati pada daerah yang berakhir periodenya.
“Krisis legetimasi dan potensi abuse of power (penyalahgunaan kekuasaan) berpotensi terjadi karena caretaker akan menjabat hampir 2 tahun. Padahal, idealnya caretaker menjabat paling lama 1 tahun dan kewenangannya sangat terbatas,” pungkasnya.
Di Sulsel pemilukada yang berpotensi ditunda ketika usul mendagri diterima DPR seperti Makassar, Luwu, Pinrang, Jeneponto, dan Wajo. (hamsah umar)