Powered By Blogger

Selasa, 02 Agustus 2011

Gunakan Diluar Jam Ibadah


MESKI kembang api sudah mendapat izin resmi digunakan di tengah masyarakat, namun warga tetap diimbau untuk tidak menggunakan kembang api pada saat masyarakat sedang melaksanakan ibadah. Apalagi, jenis kembang api yang beredar di masyarakat, sedikit memiliki persamaan dengan petasan utamanya suara yang dihasilkan.
"Kalau kembang api tidak ada larangan, namun untuk jenis petasan dan mercon tidak dibenarkan digunakan. Tapi kami tetap mengimbau masyarakat pengguna kembang api, untuk menggunakan kembang api diluar jam ibadah, sehingga masyarakat tidak terganggu dalam beribadah," kata Wakapolrestabes Makassar, AKBP Endi Sutendi.
Sejauh ini, yang banyak beredar di tengah masyarakat masih berupa kembang api, kendati pihak kepolisian tetap melakukan pengawasan terhadap penggunaan petasan dan mercon. Apalagi menurut Endi, kembang api dan petasan memiliki kemiripan.
Kendati penggunaan kembang api hingga petasan makin marak, Endi Sutendi menegaskan bahwa persentase penggunaan mainan yang banyak digemari kalangan remaja ini persentasenya masih kecil. Ada kekhawatiran, penggunaan petasan makin meningkat jelang perayaan lebaran mendatang.
"Makanya, upaya preventif tetap kita lakukan  agar penggunaan mainan ini tidak sampai mengganggu kegiatan ibadah umat Islam. Yang pasti, untuk jenis petasan dan mercon sudah jelas kita larang ada dijual,"  kata Endi Sutendi.
Makanya, kalau ada pedagang yang ditemukan menjual petasan atau mercon, pihak kepolisian tidak segan-segan untuk melakukan tindakan sesuai aturan hukum yang ada. Menurut polisi, penggunaan mercon atau petasan bisa dijerat dengan pasal KUHP,  Undang-undang Darurat tentang Senjata Tajam dan Bahan Peledak, maupun aturan tentang petasan dan mercon.
Bahkan menurut Wakapolres Pelabuhan, Kompol Satria A Vibrianto penggunaan petasan dan mercon bisa diancam dengan penjara hingga lima tahun. Makanya, dia mengingatkan pedagang untuk tidak mencoba menjual petasan dan mercon. "Kalau ada yang kita temukan menjual, akan kita tindak dengan tegas," kata Satria. (hamsah umar)

Aniaya Istri, Suami Dilapor Polisi


MAKASSAR--Kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) menimpa Rina, warga Jalan Ance Dg Ngoyo Lr II C Makassar. Korban KDRT ini melaporkan suaminya, Ruben ke Polsekta Panakkukang karena tidak tahan dengan tingkah suaminya yang kerap ringan tangan.
Ironisnya, korban mengaku kalau suaminya sudah sering kali memukulinya tanpa alasan yang jelas. Puncaknya pada Selasa, 2 Agustus kemarin. Rina yang kembali mendapat penganiayaan terpaksa  memilih melaporkan suaminya ke polisi karena sudah tidak tahan dengan perlakuannya.
Saat melaporkan suaminya ke Polsekta Panakkuang, Rina mengaku kalau penganiayaan yang dilakukan suaminya juga terjadi pekan lalu. Namun saat itu, dia memilih mendiamkan kasus tersebut. Namun setelah terulang kembali dan mengakibatkan wajahnya memar karena dipukul, korban baru berinisiatif melaporkan suaminya ke polisi.
Kepada polisi, Rina mengaku kalau tindakan ringan tangan suaminya karena cemburu, ketika korban bertemu dengan teman prianya. "Suami saya sebenarnya tahu kalau kami berteman, tapi dia tetap selalu cemburu," katanya.
Dia berharap,  keputusan melaporkan suaminya ke polisi itu bisa membuat suaminya jera dan menyadari perbuatannya selama ini adalah keliru.  Kanit Reskrim Polsekta Panakkukang, Iptu Dhimas Prasetyo membenarkan adanya kasus KDRT tersebut. Menurut dia, kasus penganiayaan ini semestinya tidak perlu terjadi, jika pasutri tersebut bisa menahan emosi apalagi saat ini bulan Ramadan. (hamsah umar)

Senin, 01 Agustus 2011

Walhi Tuding Ulah Cukong Kayu


MAKASSAR--Penebangan pohon raksasa di Desa Pa'taneteang, Kecamatan Tompobulu, Bantaeng terus menuai kritikan dari berbagai kalangan termasuk dari aktivis pemerhati lingkungan. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sulsel, bahkan menyebut adanya cukong (mafia) kayu yang terlibat.
Indikasinya kata dia, pohon yang memiliki lingkaran sekitar 16 meter dengan tinggi sekitar 100 meter itu, ditebang untuk tujuan komersil oleh pelaku. "Kayu berusia ratusan tahun ini memang ditebang untuk tujuan komersil. Jadi kasus ini memang perlu diinvestigasi dan diusut tuntas, karena jangan sampai ini adalah perbuatan cukong kayu," jelas Direktut Eksekutif Walhi Sulsel, Zulkarnain Yusuf tadi malam.
Aktivis Walhi bahkan curiga pihak terkait termasuk pemerintah mengetahui rencana penebangan kayu, yang diwacanakan dijadikan sebagai salah satu situs di daerah itu. Pasalnya menurut Walhi, wacana untuk menebang kayu tersebut sudah pernah dilakukan termasuk pada 2010 lalu. 
Bahkan menurut fakta yang diperoleh Walhi, masyarakat yang hendak menebang kayu berukuran besar tahun lalu itu, sudah pernah melaporkan kepada pemerintah baik melalui lurah, camat, maupun instansi terkait.  
"2010 lalu, kayu itu memang sudah direncanakan ditebang oleh masyarakat setempat, makanya sudah pernah melapor pihak terkait. Jadi saya curiga, pemerintah sekadar saling lempar tanggung jawab," kata aktivis Walhi Sulsel, Taufiq.
Makanya, Wahli mencurigai kasus penebangan pohon ini diketahui oleh pihak terkait. Karena itu, dia mendesak kepada pihak terkait utamanya polisi untuk mengusut tuntas kasus tersebut. Kalau pun kata dia, pelaku tidak bisa dijerat dengan Undang-undang No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, karena undang-undang ini hanya mengatur tentang produk kayu  yang masuk zona hutan lindung, polisi kata dia bisa menjerat pelaku dengan tuduhan ilegal logging.
"Ini jelas sudah masuk kategori ilegal logging, karena sekalipun kayu itu misalnya masuk zona hutan rakyat, tapi penebangan kayu juga ada aturan tersendiri," kata Zulkarnain.
Makanya, dia menegaskan bahwa pelaku penebangan kayu maupun pihak lain yang terlibat di dalamnya sangat pantas untuk mendapat hukuman. Paling tidak, tindakan tegas terhadap pelaku ini bisa  memberikan efek jera agar masyarakat tidak serta merta melakukan penebangan hutan.
Belum lagi kata dia, pohon yang terbilang sudah langka itu turut menjadi perhatian pemerintah pusat, apalagi pohon ini rencananya akan ikut kontes pohon terbesar se-Indonesia. Bahkan informasi yang diperoleh, pihak kementerian terkait sudah menjadwalkan untuk meninjau pohon tersebut.
Meski Undang-undang Kehutanan tidak bisa menyentuh langsung pelaku penebangan kayu itu, karena zona yang ditempati pohon tersebut bukan di hutan lindung, namun Zulkarnain menegaskan bahwa pihak terkait bisa jeli untuk mengakalinya dengan aturan lain, termasuk kata dia jika pemerintah setempat memiliki perda tentang persoalan pemanfaatan kayu.
Bahkan menurut Walhi, zonasi tentang lokasi pohon tersebut tumbuh masih tumpang tindih di kalangan masyarakat dan pemerintah sendiri. Apalagi menurut dia, pohon tersebut letaknya memang berdampingan dengan kawasan kebun
masyarakat.
Sementara itu, Wakil Ketua Asosiasi Pedagang Hutan Indonesia (APHI), Annar Salahuddin Sampetoding menegaskan bahwa sikap kepolisian yang  terkesan menyebutkan bahwa persoalan itu adalah tugas Polisi Kehutanan (Polhut) sudah benar. Menurut dia, polisi baru bisa bertindak kalau polhut sudah tidak bisa lagi menangani kasus itu.
Soal apakah tindakan warga yang menebang pohon itu, Annar meminta agar semua pihak terlebih dahulu teliti dan melihat asas legalitas atau alas hak dari pohon tersebut. Jika pohon tersebut memang berdiri di atas kebun masyarakat, maka warga yang menebang pohon tersebut tidak serta merta harus dipidanakan.
"Karena kalau kondisinya seperti itu, warga tidak melakukan pelanggaran. Karena kalau pohon itu tidak berada di hutan konservasi, tidak ada pelanggaran yang dilakukan masyarakat. Mereka menebang itu karena meresa bahwa itu memang haknya," kata Annar.
Kalau pun selama ini pemerintah ada wacana untuk menjadikan pohon tersebut semacam situs atau dilindungi, pemerintah kata dia mestinya sejak dini melakukan komunikasi dengan pemilik kayu tersebut. Menurut dia, pemerintah juga tidak bisa sewenang-wenang mengambil kayu tersebut kalau memang masyarakat adalah  pemilik yang sah. Tapi menurut dia bisa saja dilakukan sepanjang warga tersebut diberi ganti rugi.
"Jadi saya  melihat bahwa kesalahan ada pada Dinas Kehutanan. Kenapa  kalau memang ada keinginan seperti itu, bukan sejak dini melakukan pembicaraan dengan pemilik kayu. Caranya dengan memberinya ganti rugi. Tapi karena mungkin tidak ada kejelasan, pemilik kayu memilih menebangnya untuk dimanfaatkan," tambah Annar. (hamsah umar)

Ocheng Putus Komunikasi dengan Istri


MAKASSAR--Ocheng, pelaku pengeroyokan wartawan Harian Pare Pos Biro  Sengkang, A  Erwin yang saat ini dalam proses pencarian pihak kepolisian tampaknya berusaha memutus komunikasi, bahkan dengan istrinya sendiri, Ita. Sejak dicari-cari polisi pascapengeroyokan berlangsung, Ocheng hingga saat ini belum pernah menghubungi istri maupun orang tuanya.
"Kami juga dari pihak keluarga resah karena tidak ada komunikasi dari dia (Ocheng)," ujar Ita didampingi orang tua Ocheng, Ratna dan temannya Risna saat bertandang ke redaksi Harian FAJAR, Senin, 1 Agustus.  
Pada kesempatan itu, Ita juga mengaku kecewa bahkan merasa dipojokkan dengan pemberitaan yang berkembang selama ini, karena menurut dia informasi kasus pengeroyokan itu tidak sesuai dengan kejadian  yang sebenarnya. Bahkan menurut dia, pelaku yang melakukan pengeroyokan terhadap Erwin juga tidak dikenalnya meski kejadian tersebut terjadi di depan rumahnya.
"Jadi yang mengeroyok dia bukan teman suami saya. Karena yang  pukul pada saat itu ciri-cirinya berbadan besar, sementara teman suami saya tidak ada yang besar badannya. Jadi kami juga tidak tahu siapa yang memukulnya,"  kata Ita.
Kendati menurut dia, saat pengeroyokan di Jalan Anggrek, banyak teman geng motor Ocheng yang sedang berkumpul. Dia bahkan menuding kalau korban yang mendatangi rumahnya bersama wartawan Sindo, Jumardi dengan kondisi  marah.   
Dia juga menyebutkan bahwa kasus itu berawal dari peristiwa yang terjadi di Jalan Veteran, di sebuah acara  bebas. Di tempat kejadian pertama ini korban kata dia malah sempat melempari menggunakan kursi. "Tapi saya tidak melapor karena kami anggap tidak ada lagi masalah setelah ditinggalkan. Tapi ternyata dia mendatangi rumah saya," kata Ita yang diiyakan Ratna dan Risna. (hamsah umar)
         

Aipda Alex dan Baso Terancam 16 Tahun


MAKASSAR--Oknum anggota Polrestabes Makassar, Aipda Alex Petrus Pisa, serta oknum pegawai  negeri sipil (PNS) Pemkab Jeneponto, Karaeng Baso bakal menikmati pengapnya sel tahanan dalam waktu lama. Tersangka kasus kepemilikan sabu-sabu seberat 9 gram ini, dijerat dengan Pasal 114 Undang-undang Narkotika dengan ancaman hukuman 16 tahun penjara.
"Kalau berdasar pasal yang kita sangkakan kepada kedua tersangka, mereka bisa saja dijatuhi hukuman hingga 16 tahun," kata Kasat Narkoba Polrestabes Makassar, AKBP Hasbi Hasan, Senin, 1 Agustus.
Bahkan kalau merujuk Undang-undang No 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, disebutkan bahwa siapa saja yang kedapatan membawa sabu-sabu di atas 5 gram, bisa diancam dengan hukuman mati.
Hasbi menambahkan bahwa, kedua tersangka kasus sabu-sabu seberat 9 gram ini saat ini sudah digiring ke Rutan Makassar untuk menjalani penahanan. Keduanya telah dipindahkan dari sel narkoba Polrestabes Makassar ke Rutan Makassar sejak pekan lalu, dengan status tahanan titipan kepolisian. Sebagaimana dilansir sebelumnya, Baso ditemukan membawa sabu-sabu seberat 3 gram, sementara dari tangan Alex ditemukan 6 gram sabu-sabu.
Dalam proses pemberantasan peredaran sabu-sabu di kota Makassar, Hasbi menegaskan bahwa pihaknya terus melakukan pengungkapan dengan memburu penikmat sabu-sabu lain di  kota ini. Akhir pekan lalu, polisi  bahkan kembali menangkap penikmat sabu-sabu di daerah ini. 
Salah satu pengedar sabu-sabu yang ditemukan adalah Hasnah, warga Jalan Sehati Makassar. Dari tangan ibu rumah tangga ini, polisi juga menemukan satu paket sabu-sabu seberat 1 gram. Saat diinterogasi polisi, tersangka mengaku kalau barang terlarang tersebut merupakan sisa barang suaminya yang lebih awal ditangkap polisi.
"Hasnah ini adalah istri pertama dari Dg Ngawi. Tersangka sabu-sabu yang kita tangkap di Barombong dengan jumlah barang bukti cukup banyak," kata Hasbi.
Kasus narkoba lain yang diungkap polisi adalah pengedar sabu-sabu yang beralamat di Jalan Bayang Makassar, Muliadi. Kepada polisi, warga yang satu ini menyebut warga bernama Rian sebagai tempat dia membeli sabu-sabu selama ini. Sayangnya, tersangka yang satu ini tidak mengetahui pasti keberadaan warga yang disebutnya itu. (hamsah umar)