KENDATI lembaga penegak hukum utamanya kejaksaan dan kepolisian sudah mengeluarkan surat edaran, agar kasus korupsi menjadi salah satu prioritas yang harus dituntaskan di daerah, namun tingkat penyelesaian perkara korupsi di Sulsel tampaknya belum sesuai harapan.
Lihat saja kasus dugaan korupsi yang ditangani jajaran Kejaksaan Tinggi Sulsel dan Polda Sulsel. Di Kejati, jumlah kasus korupsi yang ditangani menghampiri angka 200 kasus, namun jumlah yang selesai hanya mencapai puluhan kasus. Begitu juga kasus korupsi yang ditangani Polda Sulsel. Dari sekitar 57 kasus yang ada, tingkat finalisasi kasus korupsi hanya mencapai 48 persen.
Dengan kata lain, dua lembaga penegak hukum di wilayah Sulsel sejauh ini hanya mampu menyelesaikan perkara korupsi di bawah 50 persen. Kondisi ini tentu saja bertolak belakang dengan keinginan petinggi Polri dan Kejaksaan Agung bahwa kasus korupsi harus diprioritaskan. Bahkan, berdasar salah satu surat edaran Kejaksaan Agung, penyidik kejaksaan ditarget mampu menyelesaikan penanganan perkara korupsi dalam tempo tiga bulan.
Berkaca pada tingkat penyelesaian perkara korupsi di Sulsel yang tidak melebih angka 50 persen ini, Direktur Anti Coruption Commitee (ACC) Sulsel, Abdul Muttalib mengatakan bahwa penyelesaian kasus korupsi pada dasarnya tidak memiliki banyak hambatan, utamanya kalau dikaitkan dengan persoalan bukti-bukti dugaan terjadinya tindak pidana korupsi.
Namun, Muttalib menyebut kendala yang terjadi di Sulsel lebih karena niat baik atau goodwill penegak hukum dalam penanganan korupsi masih sangat rendah. Akibatnya, proses penanganan kasus dugaan korupsi baik yang terjadi di kepolisian maupun di kejaksaan banyak yang tidak jelas dan mandek dengan berbagai alibi.
Kasus bantuan sosial (bansos) Pemprov Sulsel 2008 yang diduga merugikan negara Rp8,8 miliar, baru kembali mulai bergerak dan ditingkatkan ke penyidikan. Ini artinya, ketika penegak hukumnya memiliki goodwill, maka perkara korupsi dipastikan akan berjalan sesuai harapan.
"Kalau penegak hukumnya memiliki keinginan serius untuk menuntaskan kasus korupsi yang ditanganinya, saya kira perkara korupsi di daerah ini akan mudah dituntaskan. Tapi karena goodwill-nya tidak ada, maka penyelesaian kasus korupsi banyak yang mandek," kata Muttalib.
Salah satu bukti bahwa penegak hukum tidak memiliki niat baik dalam penyelesaian kasus korupsi, karena sejauh ini pelibatan masyarakat dalam penanganan perkara korupsi belum dimaksimalkan. Padahal kata dia, dalam surat edaran Kejaksaan Agung dan Polri, lembaga penegak hukum ini juga diminta untuk melibatkan masyarakat.
"Tapi ternyata kan masyarakat kurang dilibatkan. Misalnya saja kalau penegak hukum benar-benar serius, setiap ada ekspose perkara korupsi bisa saja melibatkan masyarakat utamanya aktivis anti korupsi. Apalagi mereka yang memang memiliki data mengenai dugaan terjadinya tindak pidana korupsi," jelas Muttalib.
Makanya, dia menilai penegak hukum di daerah ini cenderung jalan sendiri, dan tidak mau melibatkan peran serta masyarakat secara baik. Kalau saja penegak hukum mau terbuka kepada masyarakat, dipastikan respons masyarakat terhadap penegak hukum akan lebih baik lagi. (hamsah umar)