*Catatan dari di Perbatasan Indonesia-Filipina (2)
INDONESIA-FILIPINA sudah puluhan tahun menjaling kerja sama dalam mempermudah akses masyarakat kedua negara, utamanya dalam hubungan silaturahmi.
HAMSAH, MIANGAS-MARORE
NOTA kesepahaman atau Memorandum of Understanding (MoU) antara pemerintah Indonesia dengan Filipina, yang dikenal dengan Border Crossing Agreement (BCA) memang sudah banyak memudahkan masyarakat kedua negara, ketiga akan bepergian ke Filipina atau sebaliknya.
Kemudahan itu karena warga tidak perlu lagi mengurus paspor untuk mengunjungi Filipina begitu juga sebaliknya. Namun seiring perjalanan waktu serta perdagangan bebas yang sudah diterapkan di Indonesia, kerja sama dalam bentuk BCA ini mulai dianggap warga kedaluarsa atau ketinggalan zaman.
Makanya, mayoritas warga di pulau perbatasan ini berharap kerja sama BCA ini ditingkatkan menjadi Border Trade Agreement (BTA). Sehingga warga di kedua perbatasan ini bisa menjaling hubungan perdagangan yang lebih luas.
Tidak bisa dipungkiri, warga Indonesia di perbatasan ini sering menjual barang dagangannya ke Filipina. Namun jumlahnya terbatas atau sekadar dalam bentuk barter. Begitu juga hanya warga yang memiliki hubungan kekeluargaan di Filipina. "Kerja sama dalam bentuk BCA ini memang sudah perlu ditingkatkan ke BTA, sehingga masyarakat kedua perbatasan memiliki hubungan dagang lebih luas," kata Kepala Pos Imigrasi Miangas, Kenangan Lupa.
Harapan yang sama juga disampaikan warga Miangas, F Markus Banderan. Markus menyebut banyak hasil pertanian, laut dan kebutuhan sehari-hari yang perlu dikerjasamakan dengan Filipina. "Kami ingin kerja sama perdagangan Indonesia dengan Filipina," tegas Markus.
Menurut mereka, dengan kerja sama dagang kedua negara di wilayah perbatasan ini, kesulitan masyarakat utamanya dalam memperoleh kebutuhan sehari-hari sedikit teratasi. Apalagi akses ke Filipina lebih mudah dibanding ke Bitung atau Manado. Ke Filipina warga hanya berhitung jam sementara ke Bitung butuh waktu hingga empat hari.
Dengan terbukanya kerja sama dagang yang legal ini, warga optimis kebutuhan sehari-hari mereka akan mudah diperoleh baik beras, sandang dan pangan, hingga kebutuhan bahan bakar minyak. Bahkan sangat memungkinkan warga bisa memperoleh kebutuhan sehari-hari dengan mudah dan murah.
Untuk ke Provinsi Davao-Filipina misalnya, warga paling butuh waktu hingga sepuluh jam. "Dari Miangas ke Tibanbang hanya 7 jam. Tinggal 3-5 jam perjalanan darat sudah sampai ke ibu kota Davao," kata FS Buanbituan, seorang guru SDN Miangas.
Di pulau terluar Indonesia yang berada di wilayah pengawasan Kodam VII/Wirabuana ini, kesulitan yang paling dirasakan warga adalah kebutuhan sehari-hari. Selain mahal, untuk memperolehnya juga butuh pengorbanan waktu cukup lama.
Bahkan untuk kebutuhan bahan bakar minyak (BBM) baik solar, premium, dan minyak tanah warga mengaku berbulan-bulan bahkan bertahun tidak mendapat pasokan. "Sudah setengah tahun tidak ada pasokan BBM," ujar warga Kawaluso, Tresio Nevi Makadompis.
"Masalah BBM sudah menjadi persoalan bertahun-tahun tanpa penyelesaian. Kami semakin tersiksa sejak ada larangan warga membawa BBM di atas kapal penumpang," tambah warga Miangas, Arwis.
Camat Marore, Timotius Lahabir mengakui kalau masalah terbesar warga selain kebutuhan pokok adalah BBM. Di wilayahnya ini, sebagian besar warga lebih banyak berbelanja ke Filipina dibanding ke Bitung atau ibu kota kabupaten.
"Warga yang belanja ke Filipina seperti beli kebutuhan dapur, minuman, rokok, pakaian hingga sepatu. Itu karena terasa lebih murah dibanding harus ke kabupaten atau provinsi," kata Timotius. (**)